REDAKSI8.COM, BANJARBARU – Kuasa hukum Syarifah Hayana, Ketua DPD Lembaga Pengawas Reformasi Indonesia (LPRI) Kalimantan Selatan, mengajukan gugatan pra peradilan di Pengadilan Negeri (PN) Banjarbaru, Senin (26/5/2025). Langkah ini diambil untuk menguji keabsahan penetapan tersangka terhadap klien mereka atas dugaan ketidaknetralan saat Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Banjarbaru, 19 April 2024 lalu.

Dalam sidang perdana, tim kuasa hukum yang diketuai oleh Dr. Muhammad Pazri membeberkan sembilan poin keberatan yang menjadi dasar gugatan. Mereka menilai penetapan tersangka tidak sah secara hukum dan prosedural.
“Ini bukan perkara biasa. Kami mengupas tuntas mulai dari Undang-Undang Pemilu, KUHAP, hingga peraturan Kapolri. Ada kejanggalan yang harus diuji di persidangan,” tegas Pazri kepada awak media usai sidang.
Pazri menjelaskan, pihaknya menyusun berkas pra peradilan setebal 32 halaman, yang merinci berbagai dugaan pelanggaran prosedur oleh penyidik, mulai dari tahapan klarifikasi hingga penyidikan. Ia menilai, penetapan tersangka terhadap Syarifah Hayana bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, terutama dalam penggunaan pasal yang dinilai tidak tepat sasaran.
“Pasal yang dijadikan dasar itu terlalu umum. Padahal jelas, posisi klien kami itu ada pada huruf K pasal 128A-K, yang menyebut tentang kegiatan lainnya. Tapi dalam proses pemanggilan, tahapan itu tak pernah muncul,” tambahnya.
Tak hanya itu, tim kuasa hukum juga menyoroti proses penyidikan oleh Bawaslu Kota Banjarbaru yang dinilai tidak memiliki kewenangan penuh. Menurut Pazri, keterlibatan Bawaslu Provinsi dalam tanda tangan form klarifikasi merupakan pelanggaran prosedur.
“Ini menyangkut kewenangan. Ketika Bawaslu Kota menyerahkan ke provinsi, seharusnya mekanisme itu diuji. Apalagi form klarifikasinya ditandatangani oleh Bawaslu provinsi,” jelasnya.
Persoalan lainnya adalah terkait Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Menurut Pazri, SPDP seharusnya diterima dalam waktu tujuh hari sejak laporan polisi dibuat. Namun dalam kasus ini, SPDP justru dititipkan ke Ketua RT dan baru diterima setelah penetapan tersangka.
“Ini jelas janggal. Ada alamat rumah, ada kuasa hukum, bahkan ada kontak person, tapi SPDP malah dititip ke Ketua RT. Ini kami anggap sebagai pelanggaran prosedural yang harus diuji,” tandasnya.
Pazri menegaskan, proses hukum yang dialami kliennya terkesan terburu-buru dan berpotensi mengarah pada kriminalisasi. Ia membandingkan dengan sejumlah perkara lain yang justru ditangani lambat.
“Kami curiga ini sarat kriminalisasi. Penanganan cepat terhadap klien kami kontras dengan lambannya penanganan kasus serupa. Maka kami sebut ini bukan sekadar kerja polisi, tapi satu paket dengan Bawaslu dan kejaksaan dalam Gakkumdu,” pungkasnya.
Sidang pra peradilan akan kembali digelar esok hari dengan menghadirkan saksi fakta dan dua orang ahli yang juga pernah memberi keterangan di Mahkamah Konstitusi.