Dengan semangat perlawanan, puluhan mahasiswa dari Gerakan Mahasiswa Anti Mati Air (GERAM) melakukan aksi unik namun penuh makna: mandi massal menggunakan air seadanya di depan kantor PDAM. Aksi ini bukan sekadar teatrikal—ia menjadi simbol nyata betapa rakyat haus tak hanya air, tapi juga keadilan dan kepedulian.
“Sudah lebih dari sebulan kami hidup tanpa kepastian air bersih!” seru Ahmad Asri Hasibuan dalam orasinya. “Air mengalir kecil, kadang mati total, bahkan berlumpur. Ini bukan lagi soal kenyamanan, tapi soal kelangsungan hidup!”
Mahasiswa lain, Hadit Pahmi, menambahkan bahwa apa yang terjadi di Tapanuli Tengah adalah ironi yang menyakitkan. “Kita hidup di daerah dengan sumber mata air melimpah, tapi rakyatnya menderita karena tak mendapatkannya. Ini kegagalan sistemik,” tegasnya.
Tak hanya soal kelangkaan, mahasiswa juga mengungkapkan bahwa tarif air justru melonjak di tengah krisis. Ali Amri Lubis mengaku geram dengan situasi ini. “Air tidak lancar, tapi tagihan justru naik. Di mana logikanya? Ini bentuk ketidakadilan yang nyata!”
Namun puncak kekecewaan meletup saat Direktur PDAM Mual Nauli tak kunjung keluar untuk memberi penjelasan kepada massa. Wajah-wajah penuh harap dari mahasiswa dan warga hanya disambut keheningan dari balik dinding kantor.
“Jangan sembunyi, Pak Direktur!” teriak Jose Mourinho Pasaribu. “Ini bukan panggung politik. Ini panggilan kemanusiaan. Kalau tak mampu bekerja, lebih baik mundur!”
Aksi berlangsung tertib namun penuh emosi. Warga sekitar yang ikut terdampak krisis air turut menyaksikan aksi tersebut, beberapa bahkan menyatakan dukungan kepada mahasiswa.
Koordinator aksi, Adrian Hasayangan, menegaskan bahwa ini bukan akhir dari perjuangan. “Kami akan terus mengawal. Kalau tak ada perbaikan segera, kami akan datang lagi, dengan suara yang lebih lantang dan massa yang lebih banyak. Ini bukan sekadar aksi, ini perlawanan untuk hidup yang lebih layak.”
Hingga berita ini diturunkan, Direktur PDAM Mual Nauli belum memberikan tanggapan resmi atas tuntutan massa.