Saat menjalani perkuliahan, salah seorang dosen masuk agak terlambat dari jadwal. Rupanya ada jadwal menguji, entah proposal atau hasil penelitian. Hal yang saya ingat adalah paras wajahnya yang keruh saat memasuki ruangan kelas.
Tak lama kemudian muncul keluh kesahnya, semacam kekecewaan atas ketidakberhasilan mahasiswa bimbingannya. Kami hanya bisa terdiam mendengarkan.
Satu hal yang sebenarnya membuat saya bingung. Dosen itu sebenarnya kecewa karena hasil kinerja mahasiswanya tidak sesuai dengan kenyataan, atau kecewa dengan dirinya sendiri yang tak mampu membimbing dengan baik.
Walaupun dari nada bicaranya, seingat saya beliau hanya ada nada kecewa saja, tak kelihatan niat untuk introspeksi sistem bimbingannya sendiri.
Paling tidak, minimal dua kali menemukan hal semacam itu. Dosen pembimbing yang justru menjatuhkan mahasiswa bimbingannya sendiri saat sidang, tak cuma sidang proposal, bahkan di saat sidang hasil penelitian.
Mungkin saya termasuk beruntung, beberapa kali mendapatkan dosen pembimbing penelitian yang mengerti akan esensi ‘membimbing’. Dosen-dosen saya secara tidak langsung mengajarkan bahwa mahasiswa bimbingannya adalah bagian dari dirinya. Bahkan lebih dari itu, mahasiswanya adalah bagian dari harga dirinya, yang harus dibela di depan sidang, bahkan seringkali diangkat derajatnya di hadapan siapapun.
Hal sederhana yang kadang tak dimengerti oleh pengajar maupun pembimbing adalah penempatan dan perspektif akan dirinya sendiri. Mahasiswa atau orang yang secara struktur berada di bawahnya, adalah binaannya. Cerminan dari dirinya sendiri.
Jika punya pola pikir seperti itu, tentu saja harusnya berpikir setrilyun kali untuk menjatuhkan bimbingan atau mahasiswanya di depan umum, di depan sidang atau di depan siapapun.
Seperti kalimat bijak, bahwa satu jari telunjuk mengarah ke orang lain, tetapi empat jari yang lain menuju pada diri sendiri.
Menganggap orang lain konduitenya tidak baik, lebih-lebih pada orang seharusnya dibina dan dibimbing, itu tak lebih dengan menunjukkan pada khalayak ketidakmampuan diri sendiri dalam aktualisasi diri sebagai seorang pengajar, pembimbing maupun fungsi sebagai pemimpin.
Lebih bahaya lagi jika seseorang tidak bisa melihat proses kerja seseorang dengan objektif. Seperti salah seorang kawan yang nyaris tidak lulus dalam sidang penentuan kelulusan, parahnya lagi konon dosen pembimbingnya sendiri yang bersikeras memberi nilai terlalu rendah sebagai standar kelulusan.
Sekali lagi, esensi cermin seorang pembimbing tak dipenuhi. Menilai rendah seseorang tanpa peduli dengan proses adalah sesuatu yang aneh. Apalagi proses dari penyusunan rencana penelitian sampai akhirnya sidang akhir adalah melibatkan diri pembimbing secara langsung.
Proses penilaian terhadap sesuatu, apalagi seseorang memang perlu banyak variabel yang dipertimbangkan. Paling utama adalah melihat lagi, kemampuan diri sendiri untuk menilai seseorang secara keseluruhan dan sistematis. Jika di dalam istilah regresi, bisa dikatakan hasil secara simultan, bukan hasil penilaian secara parsial, yang bisa menggambarkan cerminan sebuah fenomena secara utuh.
Kesimpulannya, kekecewaan seorang dosen atau pembimbing saat melihat hasil mahasiswanya tak sesuai harapan, tak lebih sebuah bentuk kekecewaan atas ketidakmampuan diri sendiri dalam mengelola diri sendiri. Solusinya sederhana, yaitu belajar lebih baik untuk mengasah kompetensi diri sendiri dan mengasah kemampuan berkomunikasi dengan lebih baik lagi, sehingga harapan yang ingin diinginkan bisa tersampaikan kepada komunikan.
Selain sekali lagi mengingatkan diri sendiri, bahwa bagaimanapun, siapapun yang dibimbing dan dibina adalah orang yang senantiasa harus dibela habis-habisan, bukan untuk dijatuhkan. Bahkan selayaknya seorang pembimbing harus mampu memberikan solusi jika ada permasalaan, bukan hanya bisa menyalahkan tanpa ada jalan penyelesaian.
Demikian.
Penulis Dr. Ridwan Sya’rani