REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Potensi perairan Kalimantan Timur yang begitu luas dan strategis hingga kini masih belum tergarap secara optimal.
Padahal, wilayah ini tidak hanya memiliki fungsi vital sebagai jalur transportasi dan konektivitas antarwilayah, tetapi juga menyimpan peluang besar sebagai sumber pendapatan baru bagi daerah.
Namun, kenyataannya, sektor ini belum menyumbang sepeser pun terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kalimantan Timur.
Kondisi ini menjadi sorotan tajam dari Sapto Setyo Pramono, Wakil Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Timur.
Dalam keterangannya usai mengikuti rapat internal Komisi, Sapto mengungkapkan rasa kecewa namun sekaligus semangat untuk mengubah paradigma lama terkait pengelolaan sektor perairan, baik sungai maupun laut.
“Ini wilayah kita sendiri, sudah seharusnya kita memiliki hak pengelolaan yang sah dan bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan daerah dan masyarakat,” tegas Sapto dengan nada optimis namun kritis.
Menurut Sapto, Kalimantan Timur memiliki jaringan sungai yang membentang dari pedalaman hingga ke pesisir, yang tidak hanya menjadi jalur utama transportasi masyarakat, tetapi juga lalu lintas industri dan logistik.
Ironisnya, pemanfaatan ekonomi dari aktivitas tersebut belum memiliki dasar hukum yang kuat untuk bisa dikonversi menjadi pemasukan daerah.
“Sebagian besar lalu lintas kapal dan kegiatan ekonomi di perairan kita tidak menghasilkan kontribusi finansial bagi daerah. Ini masalah struktural yang harus segera diselesaikan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, perairan yang berada di bawah kewenangan kabupaten/kota masih belum tersentuh oleh sistem regulasi atau kebijakan pembangunan yang mampu mengangkat sektor ini sebagai potensi ekonomi unggulan.
Dalam upaya mencari solusi konkret, Komisi II DPRD Kaltim telah melakukan studi banding ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Kota tersebut dikenal sukses dalam mengelola Sungai Barito sebagai sumber PAD melalui sistem pemungutan retribusi labuh kapal, zona tambat, dan pemanfaatan lahan sempadan sungai untuk aktivitas ekonomi legal.
Sapto menilai, Banjarmasin adalah contoh nyata bagaimana pengelolaan sungai tidak hanya bergantung pada pemerintah pusat, tetapi bisa dijalankan secara efektif oleh pemerintah daerah melalui kerja sama lintas kelembagaan.
“Kami belajar banyak dari sana. Sungai Barito dikelola dengan cerdas dan legal. Kaltim bisa melakukan hal yang sama, bahkan lebih baik jika kita punya political will,” ujarnya yakin.
Namun, Sapto tak menutup mata terhadap tantangan yang menghadang. Salah satu kendala terbesar menurutnya adalah kerangka hukum yang sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini.
Ia mencontohkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1989, yang masih digunakan sebagai dasar hukum pengelolaan perairan di Kaltim.
“Regulasi itu sudah sangat ketinggalan zaman. Tidak mengakomodasi dinamika baru, tidak mencakup wilayah laut hingga 12 mil, dan tidak memberi ruang aktif kepada perusahaan daerah dalam pengelolaan,” tegasnya.
Oleh karena itu, Komisi II mendorong dilakukannya revisi besar-besaran terhadap regulasi yang ada, atau bahkan merancang Perda baru yang lebih sesuai dengan tantangan dan peluang saat ini.
Perda baru tersebut diharapkan dapat mengatur pengelolaan zona tambat kapal, zona labuh, alur pelayaran, dan distribusi hasil tambang melalui jalur sungai secara legal dan terstruktur.
Sapto juga menyampaikan bahwa pengelolaan perairan bukan hanya soal teknis atau birokrasi.
Lebih dari itu, dibutuhkan keberanian politik dan sinergi antarinstansi untuk bisa memperjuangkan kepentingan daerah, termasuk hingga ke tingkat nasional.
“Kalau kita hanya mengeluh tanpa bergerak, maka potensi ini akan terus jadi harta karun yang terkubur. Kita butuh semua elemen — eksekutif, legislatif, BUMD, hingga masyarakat pesisir — untuk mendorong lahirnya sistem yang adil,” katanya.
Ia mengusulkan agar ke depan dibentuk tim kerja khusus lintas OPD dan lintas kabupaten/kota untuk menyusun rencana induk pengelolaan perairan berbasis PAD.
Sebagai langkah awal, Komisi II telah menyiapkan beberapa usulan strategis.
Diantaranya, pembentukan zona tambat kapal yang diatur oleh Perda, pembuatan zona labuh komersial yang disinergikan dengan kebutuhan logistik industri, serta skema pengelolaan bersama antara pemerintah daerah dan perusahaan daerah (Perusda).
Skema ini diyakini akan memberikan keuntungan ganda: selain menambah PAD, juga akan menciptakan lapangan kerja, memperkuat posisi fiskal daerah, dan memberi insentif pada investasi maritim.
“Kalau kita punya perangkat hukum yang kuat dan kelembagaan yang siap, saya yakin potensi sungai dan laut ini bisa jadi sumber pendapatan legal dan berkelanjutan,” pungkasnya.
Ditengah berbagai keterbatasan dan tantangan, Sapto memastikan bahwa Komisi II DPRD Kaltim tidak akan tinggal diam.
Mereka berkomitmen untuk menjadi motor penggerak perubahan, menggugah kesadaran kolektif bahwa sektor perairan layak dan wajib dijadikan pilar ekonomi baru bagi Kalimantan Timur.
Dari ruang rapat legislatif hingga tepian sungai yang menjadi denyut kehidupan masyarakat pesisir, semangat untuk merebut kembali kedaulatan fiskal atas wilayah air terus digaungkan.
Bagi DPRD Kaltim, ini bukan hanya tentang PAD, tetapi juga tentang kemandirian, keadilan wilayah, dan kemakmuran rakyat.

