REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Sektor pertambangan telah menjadi primadona sejak dulu dalam upaya menggenjot pertumbuhan ekonomi. Kekayaan alam dengan berbagai jenis mineral dan tambang ini seharusnya seharusnya menjadi keunggulan untuk membawa Indonesia menjadi negara maju.
Namun upaya itu mengalami hambatan, praktik state captured dalam perumusan kebijakan sektor pertambangan (biy ly riset terbaru soal perizinan tambang hingga berbagai kasus korupsi membuktikan lemahnya aspek-aspek antikorupsi dalam korporasi tambang.
Rilis Media Transparency in Corporate Reporting (TRAC) telah melakukan Penilaian Perusahaan Pertambangan di Indonesia. Dari penilaian tersebut maka sudah dapat disimpulkan bahwa lemahnya aspek Antikorupsi dan luputnya perlindungan sosial dan HAM.
TI Indonesia telah melakukan penilaian terhadap 121 perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia dengan menggunakan metode Transparency in Corporate Reporting” (TRAC). Instrumen penelitian ini digunakan untuk mengevaluasi dan menilai sejauh mana perusahaan terbuka dalam pelaporan mereka terkait kebijakan antikorupsi dan komitmen terhadap kepatuhan hukum.
Ada 2 (dua) aspek besar yang dinilai oleh TI Indonesia dalam penelitian ini yakni Aspek Antikorupsi (5 dimensi) dan Aspek Sosial dan HAM (4 dimensi). Dalam temuannya terungkap bahwa Skor TRAC untuk Aspek Antikorupsi dari 121 perusahaan tambang di Indonesia hanya sebesar 0,31 dari skor maksimal 10.
Ini menandakan mayoritas perusahaan tambang berada pada kategori skor Sangat Rendah dalam mengungkapkan kebijakan dan program anti korupsi perusahaan. Tak berbeda jauh dengan Aspek Sosial dan HAM yang hanya memperoleh skor 0,30 dari skor maksimal 10.
Skor ini mengindikasikan bahwa rata-rata perolehan skor dari 121 perusahaan tambang di Indonesia berada pada kategori skor Sangat Rendah dalam menjalankan praktik bisnis yang berintegritas dan ramah lingkungan.
Laporan ini didiseminasikan di 3 (tiga) daerah, yakni Banda Aceh, Samarinda dan Kendari. Dalam kegiatan diseminasi yang diselenggarakan di Samarinda 11 Juli 2024, TI Indonesia bekerjasama dengan Forum Himpunan Kelompok Kerja FH Pokja 30.
Hadir sebagai pembicara, Gita Ayu Atikah (Peneliti TI Indonesia), dan penanggap menghadirkan Mareta Sari (Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang – JATAM Kaltim) dan Orin Gusta Andini (Akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman).
“Eksploitasi SDA oleh korporasi seharusnya dijalankan dengan memperhatikan aspek-aspek antikorupsi, sosial dan HAM agar tidak menimbulkan dampak negatif jangka panjang. Tidak maksimalnya pendapatan negara di sektor tambang yang disebabkan berbagai kasus korupsi, belum lagi dampak sosial dan bencana ekologis yang menyertainya,” ungkap Gita Ayu Atikah, peneliti TI Indonesia.
Dalam konteks Kalimantan Timur, dari 121 perusahaan tambang yang dinilai, ada 47 perusahaan yang berasal dari wilayah Kalimantan Timur. Dari aspek antikorupsi, 44 dari 47 perusahaan yang dinilai mendapatkan skor 0, hanya 3 perusahaan yang memperoleh skor dengan kategori rendah dan sangat rendah.
Sedangkan dari aspek sosial dan HAM, 43 dari 47 perusahaan mendapatkan skor 0, hanya 4 perusahaan yang memperoleh skor dengan kategori rendah dan sangat rendah. Artinya mayoritas perusahaan tambang di Kalimantan Timur tidak memenuhi aspek antikorupsi, aspek sosial dan HAM dalam menjalankan aktivitas bisnisnya.
Danang Widoyoko (Sekjen TI Indonesia) dalam sambutannya menyampaikan. “TII mendorong adanya pemenuhan atas standar global terhadap perusahaan tambang, salah satu yang didorong adalah pemenuhan prinsip ESG (environmental, social, government) sehingga diharapkan tidak ada pelanggaran hukum, sosial, HAM dan lingkungan.
Ini dibutuhkan di tengah minimnya kapasitas pemerintah dalam melakukan pengawasan. Namun disisi lain juga dibutuhkan adanya pemberian insentif bagi perusahaan yang memenuhi standar tertentu”.
Mareta Sari (Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang – JATAM Kaltim), menyebutkan bahwa dalam 2 (dua) dekade terakhir hampir tak ada perubahan dalam tata kelola pertambangan, lingkungan dan ruang hidup masyarakat semakin digerus oleh aktivitas pertambangan.Tambang masuk ke daerah lewat jalur korupsi dan intimidasi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa proses pemilu dan pilkada telah menjadi “pintu masuk” maraknya pemberian izin tambang, artinya tambang menjadi salah satu sumber utama pendanaan politik. Tak jarang proses izin tambang juga diwarnai penyingkiran masyarakat di lingkar tambang dan masyarakat adat.
“Bayangkan setengah lubang tambang di Indonesia yang ditinggalkan oleh perusahaan tambang berada di Kalimantan Timur. Perubahan kewenangan sektor tambang dari daerah hingga sentralisasi, hampir tidak ada perubahan. Ada anomali dampak sosial dari aktivitas tambang, ada daerah yang menghasilkan tambang batubara terbesar, namun angka kemiskinannya juga semakin tinggi. Belum lagi bencana dan kerusakan ekologis yang ditanggung oleh rakyat,” ungkapnya.
Orin Gusta Andini dari Akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman mengatakan bahwa menurut data KPK, pelaku korupsi paling banyak berasal dari sektor swasta, tentu salah satunya dari perusahaan terkait pertambangan.
Jajaran pimpinan perusahaan harus memulai penerapan prinsip antikorupsi di level atas. Praktik konflik kepentingan di sektor tambang semakin tinggi sebagai akibat pengaruh dari tidak adanya kebijakan antikorupsi yang memadai, hampir tak adanya kebijakan revolving door, cooling of period, hingga keterlibatan politically exposed person di perusahaan tambang,”.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa perusahaan tambang tidak memiliki kebijakan yang memadai dari aspek antikorupsi, sosial dan HAM sehingga sulit untuk menghindar dari pertanggungjawaban pidana korporasi. Di sisi yang lain, upaya penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi dan lingkungan di sektor SDA tak selalu membuahkan putusan yang adil bagi publik, terlebih lagi bagi lingkungan hidup.
Belum lagi eksekusi putusan dalam berbagai kasus yang terkait kerugian negara dan lingkungan mengalami banyak tantangan dan hambatan. TI Indonesia merekomendasikan agar Pemerintah perlu menyediakan regulasi dan prosedur untuk mewajibkan komitmen antikorupsi perusahaan tambang secara komprehensif serta melakukan pengawasan dan penegakan hukum yang efektif.
Hal ini agar setiap perusahaan diberikan izin pertambangan memenuhi prinsip-prinsip yang mampu mencegah terjadinya praktik korupsi dan pelanggaran. Bagi perusahaan, perlu memastikan adanya kebijakan antikorupsi yang esensial untuk memitigasi pelanggaran serta melindungi masyarakat dari dampak sosial dan kerusakan lingkungan.