REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), melalui Komisi I merespon tuntutan warga di Jalan Rapak Indah, Kecamatan Sungai Kunjang, terkait tanah milik warga yang merasa lahannya digunakan untuk proyek jalan umum.
Setelah beberapa kali aksi demo hingga penutupan jalan, akhirnya DPRD Kaltim mengajak warga untuk berdiskusi melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) perdana.
RDP tersebut diselenggarakan di Hotel Mesra, pada Kamis (8/7/2024). Turut melibatkan beberapa pihak seperti Kabid Pertanahan PUPR Kaltim, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kaltim, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Samarinda, Kabag Hukum Kota Samarinda, Lurah, hingga Kuasa Hukum pemilik tanah.
Kuasa hukum pemilik tanah di Rapak Indah, Harianto Minda, mengatakan, warga telah menggunakan Jalan Rapak Indah sejak namanya masih Jalan Rapak Mahang pada 1965. Dahulu, warga memanfaatkan jalan tersebut untuk berkebun.
Sejak 1995 persoalan datang, ketika pemerintah akan menjadikan jalan itu sebagai jalan umum. Sejumlah warga pemilik lahan, juga merasa tidak ada komunikasi saat proyek dibangun.
Walhasil, jalan tersebut terkena dampak proyek dan menjadi permasalahan yang tak terselesaikan hingga sekarang. Yakni adalah pemilik tanah belum menerima ganti rugi.
Harianto mengungkapkan, upaya meminta ganti rugi lahan sudah berlangsung sejak 1995 hingga 2002. Saat itu, tengah dilakukan peningkatan Jalan Rapak Indah dengan panjang 3.000 meter dan lebar 20 meter.
“Namun yang menjadi persoalan adalah status kepemilikan lahan ini milik siapa? Tidak tahu apakah milik pemerintah kota atau provinsi,” kata Harianto.
Kendati demikian, Kabag Hukum Kota Samarinda Asran Yunisran menyebut, sesuai Surat Keputusan (SK) Pemkot Samarinda pada tahun 2017, status kepemilikan lahan tersebut merupakan milik Pemkot Samarinda.
“Jadi sebelum tahun 2017 itu, tidak ada status kepemilikannya, apakah Pemkot atau Pemprov,” kata Asran.
Dimana, pembangunan jalan itu dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR). Sebab, Pemprov Kaltim juga menyatakan banyak anggota Korpri yang tinggal di wilayah Loa Bakung saat itu.
Maka itu, Asran menyarankan persoalan ini dibawa ke ranah pengadilan. Daripada melakukan kompensasi pembayaran, seperti persoalan di Jalan Ring Road.
“Mohon maaf, kami tidak bisa serta merta membayar atas hal yang belum jelas. Kita tidak bisa mengikuti keinginan salah satu pihak, karena akan selalu bertemu kebuntuan soal angka,” tuturnya.
Asran juga menegaskan, Pemkot Samarinda akan menunggu sampai ada kewajiban yang konkret secara hukum.
“Dan itu bisa ditemui melalui jalur pengadilan. Setelah ada keputusan yang mengharuskan kami untuk membayar, maka kami akan bayar,” sebutnya.
Disamping itu, tanggapan berbeda datang dari Ketua Komisi I DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu. Ia justru mengherankan keputusan dari Pemkot Samarinda yang justru mengarahkan persoalan ini ke ranah pengadilan.
“Bagi kami, kenapa harus dibawa ke hukum? Sedangkan tidak ada yang bersengketa. Masa Semisal saya punya lahan, tidak ada yang konflik disana lalu kemudian harus dibawa ke ranah hukum,” ucap Demmu.
Dari hasil RPD yang cukup alot ini, Komisi I DPRD Samarinda meminta kepada warga dan kuasa hukum untuk menginventarisir semua lahan tersebut.
“Kumpulkan surat kepemilikan mereka, lalu dibawa ke kelurahan, untuk pengecekan pasti terkait lahan-lahan yang dimiliki warga,” ujarnya.
“Jika clear disitu, warga diminta untuk memasang patok sesuai dengan ukuran kepemilikan lahan mereka masing-masing,” sambung Demmu.
Hal tersebut, sebagai pemenuhan syarat untuk keluarnya peta bidang dari BPN.
Sebagai informasi, Peta Bidang Tanah merupakan produk hasil pengukuran fisik bidang- bidang tanah di lapangan yang menggambarkan kondisi fisik bidang- bidang tanah mengenai letak, batas dan luas bidang tanah berdasarkan penunjukan batas oleh pemilik tanah atau yang dikuasakan.
“Maka langkah selanjutnya adalah duduk bersama dengan Pemprov dan Pemkot,” tuturnya.
Intinya adalah, lanjut Demmu, Ia meminta warga tak perlu khawatir mengenai bukti kepemilikan lahan. Sebab, pemerintah sudah mengakui lahan tersebut milik masyarakat, sehingga ganti rugi dipastikan dapat diproses. Terlebih warga yang memiliki rumah, dapat membuktikannya dengan melampirkan bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB).
“Jika seluruh proses menyatakan kebenaran ini milik lahan rakyat yang dipakai untuk proyek pemerintah, tidak ada kata untuk tidak dibayar,” tutupnya.