REDAKSI8.COM – Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Banjar melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan PT. Baramarta (Perseroda) Kamis, (22/12/2022) di ruang Komisi II bersama Komisaris dan Kepala Bagian Ekonomi.
Dalam rapat pendapat tersebut, maka terungkap bahwa realisasi produksi batubara PT. Baramarta hingga Desember 2022 hanya sebesar 28.870 metrik ton dari total Rencana Kerja Dan Anggaran Biaya (RKAB) yang disetujui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM RI) tahun 2022 sebesar 500.000 MT, atau hanya sekitar 5,8 persen.
Anggota Komisi II dari fraksi Demokrat usai rapat menuturkan bahwa tidak tercapainya target ini punya konsekuensi diantaranya yakni dividen dari PT. Baramarta tidak bisa maksimal.
“Jika produksi batubara maksimal sesuai dengan RKAB 2022 yakni sekitar 500.000 Metrik ton, mungkin dividen ke Daerah bisa sampai 13 atau 15 Milyar setelah dipotong bayar utang pajak, namun karena tidak tercapai maka tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2023 nanti hanya sekitar 3,2 Milyar,” tutur Saidan.
Selain konsekuensi minimnya dividen, tidak terpenuhinya RKAB tersebut juga berkonsekuensi terhadap denda DMO (Domestic Market Obligation) yakni tidak terpenuhinya pemenuhan kuota kebutuhan domestik batubara sebesar 25 persen.
“Kalau dihitung berdasarkan denda tahun sebelumnya yakni 6 US dollar, maka total denda DMO yang harus dibayar berdasarkan harga dollar sekarang kira-kira sekitar 10 Milyar rupiah, meskipun hal tersebut dibayar oleh para kontraktor sesuai yang diperjanjikan dengan pihak Baramarta,” imbuhnya.
Jadi, sengkarut di BUMD Baramarta ini menurut legislator asal Sungai Tabuk ini cukup parah. Belum lagi total utang Royalti dan utang PBB sebesar 271 Milyar rupiah ditambah utang Baramarta dengan para Kontraktor sebelumnya, sehingga jika di total secara keseluruhan utang PT. Baramarta sekitar 427 Milyar Rupiah.
“Bayangkan saja utang sebesar itu, jika kita bandingkan dengan utang PT. BIM yang juga milik pemkab Banjar sebesar 35 Milyar ketika diajukan ke pengadilan niaga sudah pailit, dan hal yang sama juga bisa terjadi di Baramarta jika pengurus tidak benar-benar sungguh membenahi PT. Baramarta,” ungkap Saidan.
Oleh karena itu, Saidan mengkhawatirkan jika persoalan ini tidak diawasi secara serius bisa berdampak yang sama dengan PT. BIM, karenanya ia berharap agar pengurus maupun komisaris menyampaikan ini secara transparan kepada DPRD maupun kepada Bupati selaku pemegang saham di BUMD tersebut.
“Jangan menyampaikan hal-hal yang kedengarannya baik-baik saja, kasian nanti Bupati hanya disuguhi informasi yang positifnya saja, sementara potensi kerugian bisnisnya tidak disampaikan, begitu juga dengan DPRD. Karenanya tadi saya menyarankan agar komisi II langsung turun ke lapangan untuk memastikan realisasinya, dan bukan hanya sekedar mengiyakan dari apa yang disampaikan direksi dan jajaran Baramarta,” imbuh Saidan.
Selain itu, menurut Saidan, komisi II juga meminta kepada pihak baramarta untuk menyampaikan copy perjanjian antara pihak Baramarta dengan para mitranya sebagai bahan evaluasi dan melihat sejauh mana komitmen para mitra kerja Baramarta dalam menyelesaikan segenap utang yang dibebankan ke Baramarta.
“Secara logika para mitra kerja itukan hanya kontraktor, dalam bahasa sehari-hari yakni upah cangkul, lalu beban utang harus diminta bayarkan ke mereka, ini sesuatu yang harus ditelisik lebih dalam,” tegas Saidan
Dalam bahasa Banjar Saidan mengumpamakan pemilik lahan yang mempekerjakan upahan mengatam di lahan milik petani, masa sih yang bayar utang para upahan mengatam, padahal utang tersebut adalah beban dari si pemilik lahan.
“Oleh karena itu, kami komisi II akan lebih detail mengurai persoalan ini agar tidak menjadi bom waktu di kemudian hari. Nanti setelah kunjungan ke lapangan dan mendapatkan copy kontrak dengan mitra kerja Baramarta, komisi II pasti akan menggelar RDP lagi di bulan depan,” tutupnya