REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Peringatan Hari Anti Tambang (HATAM) 2025 menjadi momentum bagi masyarakat Kalimantan Timur (Kaltim) kembali menyuarakan perlawanan terhadap praktik ekstraktivisme yang kian menggerus ruang hidup mereka.

Mengusung tema “Ekstraktivisme adalah Sistem Bunuh Diri”, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim menegaskan bahwa praktik tambang tidak hanya menghancurkan lingkungan, tetapi juga merusak tatanan sosial dan demokrasi di Indonesia.
Dalam siaran pers yang dirilis pada Rabu (28/05), JATAM menyoroti bagaimana tambang telah menjadi pilar ekonomi yang dikokohkan lewat praktik korupsi, intimidasi, serta pelibatan aparat keamanan negara dalam meredam protes warga.
“Ekstraktivisme bukan hanya soal tambang, tapi tentang sistem ekonomi yang menggantungkan hidupnya pada eksploitasi tanpa batas. Ini adalah sistem yang menggali kuburnya sendiri,” ujar Mareta Sari, Dinamisator Jatam Kaltim dalam pernyataan resminya.
Kaltim kini berada dalam kepungan lebih dari 5,3 juta hektare konsesi tambang batu bara.
Akibatnya, banjir dan longsor menjadi bencana tahunan yang merugikan masyarakat.
Kasus korupsi terkait dana reklamasi tambang senilai Rp13,12 miliar dan kerusakan lingkungan yang ditaksir hingga Rp58,54 miliar menjadi bukti kegagalan negara menegakkan tanggung jawab ekologisnya.
Selain itu, warga yang menolak tambang terus menjadi sasaran kriminalisasi.
Dalam sepekan terakhir, 11 warga adat Maba Sangaji masih ditahan akibat aksi penolakan terhadap pencemaran sungai oleh tambang.
Para jurnalis yang meliput aksi juga menghadapi intimidasi, sementara buruh tambang dan perempuan di sekitar wilayah tambang mengalami kekerasan sistematis.
Di tengah situasi genting ini, perlawanan rakyat justru makin menguat. Di Sanga-Sanga, warga membangun tembok pisang untuk mereklamasi lubang tambang yang terbengkalai.
Di Batu Kajang, Merangan, dan Muara Kate, masyarakat memasang spanduk dan menjaga jalan demi menolak aktivitas angkutan batu bara.
Sementara di Sumber Sari, Kukar, anak muda membangun ekowisata berbasis pertanian dan perikanan sebagai alternatif ekonomi berkelanjutan.
“Kami tidak akan lupa. Kami tidak akan diam. Kami akan terus menjaga ingatan atas lubang-lubang tambang yang membunuh dan terus menuntut keadilan,” tegas Mareta Sari.
Dalam peringatan HATAM tahun ini, JATAM Kaltim dan jejaringnya menyampaikan empat tuntutan utama.
Pertama, perbaikan dan pemulihan lingkungan akibat pencemaran di Kalimantan Timur.
Kedua, penegakan hukum terhadap kasus lubang tambang, reklamasi, korupsi SDA, dan tambang ilegal.
Ketiga, perlindungan bagi masyarakat yang memperjuangkan ruang hidupnya. Terakhir , penghentian proyek-proyek ekstraktif yang tidak berkeadilan.
Hari Anti Tambang 2025 bukan sekadar momen seremonial.
Ini adalah pernyataan sikap untuk terus melawan sistem yang terus mengorbankan rakyat demi keuntungan segelintir elit.
Ekstraktivisme bukan jalan pembangunan, melainkan jalan bunuh diri ekologis dan sosial.
Dan dari Kalimantan Timur, suara perlawanan itu terus menggema.