REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Dengan disahkannya Revisi Undang-Undang No 24 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), kekhawatiran atas ancaman terhadap supremasi sipil semakin nyata. Revisi ini membuka ruang bagi militer untuk mengambil alih peran lembaga sipil, mengancam nilai-nilai demokrasi, termasuk kebebasan pers. Tak terkecuali, jurnalis perempuan menjadi kelompok yang rentan di tengah menguatnya budaya kekerasan dan dominasi militeristik.

Melihat situasi yang makin mengkhawatirkan, Perempuan Mahardhika Samarinda melalui Komite Basis Jurnalis menggelar diskusi publik bertema “Menguatnya Dominasi Militer dan Ancaman Bagi Jurnalis Perempuan” pada Sabtu (26/04) di Aula Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Timur. Diskusi ini menghadirkan dua narasumber, yakni Titah selaku Koordinator Komite Basis Jurnalis Perempuan Mahardhika dan Noviyatul, penasihat hukum dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda.

Dalam paparannya, Titah menegaskan bahwa bahkan sebelum revisi UU TNI disahkan, jurnalis perempuan telah kerap mengalami kekerasan. Kekerasan berbasis gender seperti pelecehan seksual, intimidasi, hingga kekerasan verbal menjadi bagian dari risiko kerja sehari-hari jurnalis perempuan.
Sementara itu, Noviyatul dari AJI Samarinda menambahkan bahwa undang-undang TNI yang disahkan bukan merujuk pada kepentingan bersama karena apa yang menjadi tuntutan tidak dikabulkan.
“Sebelum revisi UU TNI saja, jurnalis perempuan sudah rentan. Dengan revisi ini, kerentanannya berlipat-lipat,” jelas Noviyatul.
Ia juga menyoroti bahwa meskipun Dewan Pers telah mengeluarkan standar operasional prosedur (SOP) penanganan kekerasan seksual di ranah jurnalis, penerapannya masih minim.
“AJI Samarinda sudah memiliki SOP dan satgas sendiri, tapi tantangan tetap besar. Banyak media menganggap SOP keamanan, apalagi khusus perempuan, itu berlebihan, padahal kasus-kasus nyata terjadi,” tegasnya.
Kurangnya dukungan dari perusahaan media menjadi salah satu tantangan mengentaskan kekerasan di kalangan jurnalis. Berangkat dari latar belakang ini, dibentuklah Komite Basis Jurnalis.
“Seringkali, kasus kekerasan di media ditutup rapat demi menjaga relasi baik dengan pemerintah. Maka, Komite ini dibentuk untuk menjadi komunitas penyintas dan ruang aman,” pungkas Titah.
Di tengah tekanan revisi UU TNI yang memperkuat impunitas aparat, termasuk dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis, seruan untuk membangun solidaritas di antara jurnalis, khususnya jurnalis perempuan, menjadi kian penting.