REDAKSI8, SAMARINDA — Seorang balita perempuan berinisial NA diduga menjadi korban kekerasan dan kelalaian pengasuhan di sebuah yayasan panti asuhan di Samarinda.

Dugaan ini mencuat setelah Reny Lestari (36), wali dari NA melaporkan kondisi memprihatinkan yang dialami balita tersebut ke pihak berwajib.

Meski Reny tidak memiliki hubungan keluarga dengan NA, ia mengaku terdorong oleh kepedulian terhadap kondisi anak tersebut.
Ia sempat bernegosiasi dengan ibu kandung NA untuk memastikan penanganan yang lebih layak.
Reny menyadari bahwa hanya ibu kandung NA yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan anak itu dari panti.
Reny pertama kali menjemput NA dari panti pada 21 Maret 2025.
Saat itu, kondisi balita tersebut sangat mengkhawatirkan.
“Saat itu, kondisinya sangat tidak terurus. Dia mengalami kejang dan demam tinggi,” jelas Reny kepala awak media pada Jumat (20/06) malam.
Setelah melaporkan kasus ini ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) serta Dinas Sosial, Reny sempat kehilangan jejak keberadaan NA.
Namun, ia akhirnya berhasil menjemput kembali balita tersebut pada 10 Mei 2025 tengah malam, melalui bantuan ibu kandung NA.
Dengan nada prihatin, Reny menceritakan kondisi NA saat ia temukan.
“Waktu itu NA saya temukan dengan rambut penuh kutu, benjolan besar di kepala, luka terbuka, dan tubuh penuh koreng. Perutnya juga bengkak dan dia buang air kecil disertai darah,” tuturnya.
NA kemudian dibawa ke dokter, namun kondisi tubuhnya yang panas tak kunjung membaik.
Tanpa menunggu lebih lama, Reny merujuk NA untuk menjalani visum dan tes laboratorium di RSUD Abdul Wahab Sjahranie (AWS).
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin (Hb) NA hanya 7,8, jauh di bawah batas normal sebesar 16.
Visum dilakukan pada 13 Mei 2025, namun hingga kini hasilnya belum diterima Reny secara resmi.
“Saya sudah cek ke AWS, katanya visumnya sudah dikirim ke Polsek Sungai Pinang. Tapi setelah dicek lagi, ternyata hasilnya sudah ada sejak sebulan lalu di sana,” imbuhnya.
Reny juga mengamati bahwa kondisi anak-anak lain di panti tersebut tidak jauh berbeda.
Ia mencurigai banyak dari mereka mengalami gangguan kesehatan.
“Kulit mereka (anak-anak panti) banyak yang seperti terkena skabies. Hampir semua terjangkit. Ada sekitar 12 atau 13 anak di sana, termasuk dua bayi,” bebernya.
Menurut Reny, NA mengidap disabilitas berupa Attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) dan epilepsi.
Ia mengklaim bahwa selama berada di panti, NA tidak pernah mendapatkan pengobatan rutin.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan pihak panti kepada seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman yang melakukan kunjungan.
Dalam kunjungan tersebut, pihak panti mengakui bahwa NA tidak menerima terapi apa pun.
Reny berharap proses hukum terhadap kasus ini bisa berjalan dengan transparan dan cepat, terlebih karena kesehatan NA terus bergantung pada penanganan medis.
“Saya tidak ingin menutup panti itu. Tapi jika memang visum terbukti ada kekerasan, pihak yayasan harus bertanggung jawab atas kelalaiannya. Anak saya (NA) butuh pengobatan, dan visum yang tertunda ini menghentikan semua proses penyembuhannya,” tegas Reny.