REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Gelombang penolakan mengiringi langkah Pemerintah Kota Samarinda dalam merelokasi puluhan pedagang Pasar Subuh di Jalan Yos Sudarso ke Pasar Beluluq Limau, Jalan PM Noor.

Kendati demikian, proses penertiban tetap dijalankan pada Jum’at (09/05) pagi.
Penertiban melibatkan ratusan aparat gabungan dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Dinas Perhubungan, Dinas Pemadam Kebakaran, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag), serta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Samarinda.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda, Ahmad Vanandza, menyatakan bahwa pihaknya akan segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk membahas polemik relokasi Pasar Subuh ini.
Keputusan ini menyusul banyaknya keluhan dari pedagang yang menolak dipindahkan, serta minimnya komunikasi dari Pemerintah Kota terkait kebijakan tersebut.
“RDP ini rencananya akan kita laksanakan hari Rabu atau Kamis mendatang. Kami akan mengundang dinas-dinas terkait seperti Disperindag, Satpol PP, Dishub, termasuk perwakilan masyarakat dan pedagang. Bahkan jika diperlukan, pemilik lahan pun akan kita hadirkan,” jelas Vanandza di sela-sela aksi penolakan relokasi yang digelar, Jumat (09/05).
Vanandza menegaskan bahwa hingga kini DPRD belum menerima pemberitahuan resmi maupun pelibatan dalam proses pengambilan keputusan relokasi.
Ia mengaku prihatin karena kebijakan yang berdampak langsung pada penghidupan masyarakat justru dilakukan secara sepihak.
“Kami belum mendapat informasi ataupun komunikasi dari pihak Pemerintah Kota, termasuk Pak Wali Kota. Padahal ini menyangkut nasib masyarakat yang menggantungkan hidup dari pasar ini. Pemerintah seharusnya membuka ruang dialog sebelum menurunkan alat dan aparat,” ungkapnya.
Menurutnya, banyak pedagang yang merasa keberatan dipindahkan karena lokasi baru dianggap kurang layak secara aksesibilitas dan fasilitas.
Selain itu, relokasi dikhawatirkan justru menimbulkan konflik horizontal antar pedagang karena harus bersaing dengan pedagang lama di lokasi baru.
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Frida (50), salah satu pedagang yang telah berjualan puluhan tahun di Pasar Subuh.
Ia menegaskan bahwa pasar ini tidak sekadar tempat jual beli, tetapi sudah membentuk komunitas yang kuat dan memiliki relasi sosial yang terbangun sejak lama.
“Di sini itu sudah terbentuk dari tahun 70-an. Ini memang pasarnya orang Cina dulunya. Kalau orang bilang mau cari ‘kundik’, ya cuma di sini bisa dapat. Dari dulu, dari bapak saya jualan sampai sekarang, langganan pun turun-temurun. Anak-anak mereka juga tetap belanja ke sini,” ujar Frida (09/05).
Menurutnya, jika pasar dipindahkan, maka identitas dan keunikan yang selama ini melekat akan turut menghilang.
Pasar Subuh dinilai memiliki ciri khas tersendiri yang tercermin dari waktu operasionalnya serta ragam barang dagangan yang sulit ditemukan di tempat lain.
“Pasar ini punya kekhasan. Kalau dipindahkan, itu semua hilang. Pembeli itu sudah punya keterikatan, bukan cuma soal harga, tapi soal hubungan sosial juga,” imbuhnya.
Karena itu, Ahmad Vanandza mendesak Pemerintah Kota Samarinda agar menunda pelaksanaan eksekusi relokasi dan membuka ruang musyawarah bersama para pemangku kepentingan.
Ia menekankan pentingnya pendekatan yang humanis dan partisipatif dalam menata kota.
“Ayo kita musyawarah. Ini kan juga masyarakat dan manusia juga nih. Jadi kita manusiakanlah mereka.” pungkasnya.