REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Permasalahan sengketa lahan antara perusahaan besar dan masyarakat lokal, khususnya kelompok tani, masih menjadi salah satu persoalan krusial yang belum terselesaikan di wilayah Kalimantan Timur. Salah satu contoh nyata yang tengah mencuat adalah konflik kepemilikan lahan antara PT Kaltim Prima Coal (KPC), perusahaan tambang batu bara berskala nasional, dengan dua kelompok tani yang beraktivitas di Kecamatan Sangatta Utara, Kabupaten Kutai Timur, yaitu Kelompok Tani Bina Bumi Keraitan dan Kelompok Tani Multi Guna.

Kelompok tani tersebut mengklaim memiliki lahan yang saat ini masuk dalam wilayah operasional PT KPC, dan menduga perusahaan enggan melakukan pembebasan lahan atas klaim mereka. Upaya mediasi yang telah dilakukan oleh para pihak di berbagai tingkatan, mulai dari pemerintahan desa, kecamatan, hingga aparat kepolisian di wilayah Bengalon, belum membuahkan hasil penyelesaian yang konkret. Merasa tidak mendapatkan keadilan, kelompok tani kemudian melayangkan aduan resmi ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Timur, yang ditindaklanjuti oleh Komisi I sebagai alat kelengkapan dewan yang membidangi hukum dan pemerintahan.

Menanggapi aduan tersebut, Komisi I DPRD Kaltim segera menggelar pertemuan dengan pihak manajemen PT KPC untuk meminta klarifikasi dan penjelasan secara langsung terkait duduk perkara yang menjadi pokok permasalahan. Dalam penjelasannya, Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, Salehuddin, menyampaikan bahwa pertemuan dengan manajemen PT KPC menghasilkan sejumlah informasi penting mengenai kronologi, proses pembebasan lahan, dan dokumen hukum yang menjadi dasar tindakan perusahaan.
Menurut Salehuddin, pihak PT KPC menyatakan bahwa sebagian besar lahan yang diklaim oleh kelompok tani sebenarnya sudah pernah dibebaskan kepada pihak yang memiliki dokumen kepemilikan yang sah. Bahkan, sebagian area yang diklaim tersebut disebut berada dalam kawasan fasilitas pemerintahan Kabupaten Kutai Timur, sehingga perlu dilakukan telaah hukum lebih mendalam. Perusahaan mengklaim telah melakukan proses pembebasan sejak lebih dari satu dekade lalu kepada warga yang dinilai sah secara administrasi.
“Pihak manajemen telah menjabarkan secara rinci langkah-langkah yang mereka lakukan, termasuk menunjukkan bukti surat menyurat, serta tahapan-tahapan penyelesaian yang telah diupayakan. Meski demikian, karena masih terdapat beberapa kejanggalan dan perbedaan versi dari masing-masing pihak, kami memandang perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut,” ungkap Salehuddin.
Politisi asal Partai Golkar tersebut menegaskan bahwa Komisi I belum bisa mengambil kesimpulan akhir karena informasi yang ada belum sepenuhnya lengkap dan berimbang. Oleh sebab itu, langkah selanjutnya yang akan ditempuh adalah mendengarkan keterangan langsung dari pihak kelompok tani, agar DPRD memiliki pemahaman yang lebih utuh dan objektif sebelum mengambil keputusan atau memberikan rekomendasi.
“Kami akan menjadwalkan pertemuan lanjutan yang melibatkan kelompok tani secara langsung. Jika diperlukan, kami juga akan mempertemukan kedua belah pihak dalam satu forum, lengkap dengan instansi terkait lainnya,” tambahnya.
Sementara itu, dari pihak PT KPC, Manajer Land Management, Bambang, memberikan keterangan bahwa dalam setiap proses pembebasan lahan, perusahaan selalu melakukan koordinasi dengan berbagai pihak, mulai dari tingkat Rukun Tetangga (RT), kepala dusun, hingga kepala desa. Ia menegaskan bahwa pihaknya sangat berhati-hati agar tidak mencederai hak masyarakat. Semua transaksi dilakukan melalui proses legal, termasuk pembuatan akta jual beli yang disahkan melalui notaris.
“Prinsip kami sangat jelas. Kami tidak ingin merugikan siapa pun. Selama hak-hak masyarakat diakui dan dibenarkan oleh pejabat desa dan didukung saksi-saksi yang sah, maka hak tersebut akan kami penuhi,” tegas Bambang.
Namun, ia juga menyinggung bahwa dalam kasus ini, terdapat tumpang tindih klaim lahan di internal kelompok tani sendiri. Ia mengungkapkan bahwa pada Kelompok Tani Multi Guna misalnya, terdapat beberapa versi kepemilikan yang masing-masing diklaim oleh individu berbeda seperti David, La Pada, Fatimah, dan Christopher Blegur. Bahkan, disebutkan bahwa Christopher Blegur semula merupakan kuasa dari Rahman Salim, namun setelah Rahman wafat, Christopher mengklaim dirinya sebagai pemilik langsung atas lahan tersebut.
Lebih jauh, Bambang menyebutkan bahwa klaim yang diajukan oleh Christopher mencakup area seluas kurang lebih 400 hektare di Desa Swarga Bara, Kecamatan Sangatta Utara. Akan tetapi, sebagian besar wilayah tersebut menurut PT KPC telah dibebaskan lebih dahulu kepada pihak lain yang memiliki legalitas lebih kuat. Atas kejanggalan dalam proses klaim tersebut, manajemen PT KPC telah mengambil langkah hukum dengan melaporkan dugaan manipulasi dokumen ke pihak kepolisian, dan proses penyelidikan pun kini sedang berjalan.
Selain itu, Manajer PT KPC lainnya, Jarot, turut menjelaskan bahwa klaim lahan oleh Kelompok Tani Bina Bumi Keraitan juga menimbulkan kejanggalan karena melibatkan area yang sudah dibangun sebagai perkantoran milik pemerintah daerah. Menurutnya, mediasi pernah dilakukan di beberapa titik, termasuk di Polsek Bengalon dan Kantor Desa Tebangan Lembak. Namun, tidak tercapai kesepakatan, dan hasil mediasi menyarankan agar kedua belah pihak menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan sengketa tersebut secara objektif dan sah.
Dengan persoalan yang masih berkembang ini, DPRD Kaltim melalui Komisi I menegaskan komitmennya untuk menjadi jembatan antara masyarakat dan pihak perusahaan, guna memastikan bahwa hak-hak masyarakat terlindungi namun juga tetap memberikan ruang bagi investasi berjalan secara tertib dan legal. Pendekatan dialog, verifikasi dokumen, serta jalur hukum akan menjadi langkah yang ditempuh demi terciptanya solusi yang adil dan menyeluruh.