REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (Kaltim) memperingati Hari Anti Tambang (HATAM) tahun 2024, di depan Kantor Gubernur Provinsi Kaltim, Kota Samarinda, pada Rabu (29/5/2024).
Peringatan tersebut berawal, pada peristiwa Lumpur Lapindo yang terjadi pada 29 Mei 2006 lalu masih lekat dalam ingatan warga korban di Porong, Jawa Timur.
Dimana semburan lumpur panas yang hanya berjarak 150 meter dari pemukiman warga setempat diketahui bermula dari kegiatan eksplorasi gas Blok Berantas yang dilalukan oleh PT Lapindo Brantas.
Lumpur panas yang meluas tak terpulihkan tersebut terus menyembur hingga lebih dari 100 meter kubik per-harinya pada 2018 lalu.
Adapun yang mengakibatkan hilangnya ruang hidup warga Porong akibat lumpur beracun tersebut muncul pula masalah kesehatan hingga pemiskinan yang dihadapi sepanjang 18 tahun terakhir.
Adanya dalih untuk memulihkan dan menjerat PT Brantas Lapindo Inc negara melalui putusan Mahkamah Agung, justru menetapkan sebagai bencana nasional dan dengan alasan ini pelaku kejahatannya tidak bisa dihukum.
Kemudian, Presiden SBY juga membuat kebijakan yang kontroversional termasuk memberikan pinjaman dana dari APBN kepada Bakrie Group selaku pemilik PT Brantas Lapindo Inc dengan total hingga 2017 lalu sebesar Rp 11,27 tri
Aziz perwakilan dari Jatam Kaltim menilai, kondisi serupa pun tengah menimpa sekujur tubuh kepulauan Indonesia.
Sebab, adanya peralihan kawasan penting dengan adanya peruntukan lain seperti menjamurnya izin konsesi yang mengekstraksi tanah dan air.
“Kehadiran industri seperti ini menyebabkan penyiksaan bagi lingkungan dan masyarakat. Pencemaran, bencana, kemiskinan, konflik, kriminalisasi hingga penghilangan nyawa sudah menjadi hal yang kerap terjadi,” argumennya.
“Situasi ini menunjukkan ketidakmampuan negara untuk menjamin keselamatan warga negaranya. Diperburuk dengan kelindan hubungan antara pemilik industri ekstraktif dengan penentu kebijakan di Indonesia saat ini,” sambungnya.
Aziz selaku Kordinator Lapangan Aksi HATAM itu menyebut, Provinsi Kaltim menjadi album lengkap dari proyek panjang penyiksaan pada lingkungan dan masyarakat.
Sejak awal 1970’an hingga sudah dikapling guna izin-izin pengambilan kayu dan pabrik bubur kayu-kertas, lalu tambang emas dan migas.
“Baik tambang batu bara, perkebunan kelapa sawit, tambang karst untuk semen hingga proyek hilirisasi seperti smelter nikel dan gasifikasi batu bara, menenjadi paket lengkap dengan adanya mega proyek Ibu Kota Baru Indonesia di Kaltim. Akibat ulah para penguasa rakyatlah yang terus tersiksa,” kritiknya saat menyampaikan orasi.
Sebagai konsolidasi masyarakat korban, pihaknya terus melakukan upaya penolakan untuk penghadangan laju pengrusakan lingkungan yang terus bergulir dan mendapatkan tekanan yang melemahkan.
Perumusan dan perubahan regulasi yang memberikan lampu hijau bagi para investor dan penambang di Kaltim dengan terus mengabaikan keselamatan dan perlindungan bagi warga dan ruang hidupnya.
“Sejumlah pasal dalam berbagai aturan hukum juga turut serta dalam menekan gerakan masyarakat yang menolak pertambangan serta pembangunan skala nasional yang rakus lahan dan sarat konflik,” ucapnya.
Kemudian Ia menambahkan, sebagai salah satu provinsi yang dikapling oleh izin industri ekstaktif, Kalimantan Timur justru tidak dirumuskan dalam upaya pemulihan.
Berdasarkan data yang dirilis Jatam Kaltim terdapat lubang-lubang tambang tanpa reklamasi yang menyebabkan 49 korban.
Dampak lainnya seperti pencemaran dan pembunuhan sumber-sumber air permanen, penghilangan hutan dan ladang masyarakat, kekeringan dan kebakaran serta banjir dan longsor.
Menurutnya, ini akan menyiksa masyarakat di Kaltim, ditambah dengan ada mega proyek Ibu Kota Baru Indonesia, serta indutri hilir dari tambang seperti gasifikasi batu bara serta smelter nikel yang diklaim sebagai solusi untuk krisis lingkungan yang nantinya akan berkontribusi pada penurunan emisi karbon.
“Realitanya ini hanya bualan saja, mega proyek Ibu Kota Baru Indonesia tidak lebih dari upaya pengguasan tanah secara monopoli dengan cara menggusur, merampas dan meracuni masyarakat bahkan tidak hanya di Kaltim tetapi juga bagi pulau-pulau lainnya di Indonesia. Proyek-proyek transisi energi di Kaltim justru merupakan perpanjangan rantai ekstraktivisme yang dikelola atas nama kebutuhan energi yang kesemuanya tetap bersandar pada pertambangan, termasuk batu bara di Kaltim,” terangnya saat diwawancarai langsung.
Terakhir, Aksi HATAM 2024 di Kaltim yang bertajuk Dosa Penguasa, Rakyat Tersiksa dengan melibatkan masyarakat korban menolak untuk ditumbalkan sebagai rantai panjang pengancuran ruang hidup di sekujur tubuh kepulauan.
“Kami masyarakat korban menyatakan untuk teguh mempertahankan ruang hidup kami bagi keadilan yang begenerasi. Kami masyarakat korban mendesak negara untuk menghentikan segala bentuk kekerasan bagi alam dan masyarakat atas nama pembangunan dan pencegahan krisis iklim melalui proyek-proyek industri berkedok solusi iklim. Kami mendesak kepada pemerintah untuk segara melakukan pemulihan dan perlindungan bagi ruang hidup di Kaltim dan Indonesia terutama yang sedang didorong oleh warga dan kelompok bagi alam dan lingkungan,” tutupnya.