REDAKSI8, SAMARINDA — Kasus dugaan pelecehan seksual oleh seorang oknum Guru berinisial J (36) terhadap siswi berinisial F (14) di SMP Negeri 10 Samarinda menuai keprihatinan publik.

Meski mencuat sejak beberapa waktu lalu, upaya hukum terhadap pelaku masih jalan di tempat.
Pasalnya, orang tua korban disebut enggan melaporkan kasus ini secara resmi ke aparat penegak hukum.
Namun, menurut Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA), alasan tersebut tidak bisa menghentikan proses hukum.
“Undang-Undang Nomor 12 Tahun 202a2 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah memberikan ruang yang sangat jelas,” tegasnya.
“Siapa pun yang mengetahui atau mendengar informasi dugaan kekerasan seksual dapat melaporkannya, termasuk aparat penegak hukum yang menerima informasi tersebut,” sambung Sudirman, Kepala Biro Hukum TRC PPA saat ditemui awak media pada Rabu (04/06) malam.
Sudirman menyebut pihaknya telah menerima sejumlah tangkapan layar percakapan yang berisi dugaan pelecehan secara verbal dan digital antara terduga pelaku dan korban.
Bahkan, ada indikasi bahwa pelecehan tidak hanya terjadi secara verbal, tetapi juga fisik.
“Kami belum bisa menemui korban secara langsung, namun bukti yang kami pegang cukup kuat,” tambahnya.
Menanggapi informasi yang menyebut hubungan antara korban dan pelaku sebagai hubungan suka sama suka, Sudirman menegaskan, cara pelaku mendekati korban dengan bujuk rayu adalah pola klasik dalam banyak kasus serupa.
“Kita sering menemukan modus seperti ini, di mana pelaku menjalin hubungan seolah-olah pacaran untuk menutupi tindak pelecehan. Ini harus diluruskan. Ini bukan pacaran, ini pelecehan,” ujarnya.
Sudirman menanggapi rumor adanya mediasi atau perdamaian antara pihak sekolah, orang tua korban, dan pelaku.
“Pelecehan seksual bukan kasus perdata yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Tidak ada istilah damai dalam kasus kekerasan seksual. Setiap tindakan semacam itu harus diproses melalui jalur hukum,” katanya.
Ia menambahkan, jika memang telah terjadi proses perdamaian, maka perlu diselidiki apakah ada unsur intimidasi atau tekanan terhadap pihak korban.
“Kami belum bisa menyimpulkan itu karena belum mendapat akses langsung kepada korban atau orang tuanya. Tapi kami mendengar ada pembatasan komunikasi, ini juga harus diselidiki,” katanya.
TRC PPA mendorong aparat penegak hukum agar segera memanggil semua pihak terkait, mulai dari pelaku, korban dan orang tua, hingga guru-guru yang kemungkinan mengetahui kejadian ini.
Sudirman menegaskan, jika aparat tidak bertindak, maka ini akan membuka celah bagi terulangnya kasus serupa.
“Orang tua (siswa lain) yang datang ke kami menyampaikan kekhawatiran anak-anak mereka juga bisa menjadi korban berikutnya,” ujarnya.
Meski mengaku belum dapat bertemu korban, Sudirman menyebut TRC PPA akan terus mencari celah komunikasi dan memastikan hak-hak korban terlindungi.
“Kami ingin tegaskan kembali, bahwa proses hukum tetap harus berjalan meski tidak ada laporan dari korban. Karena hukum kita hari ini sudah sangat tegas.” tandasnya.