REDAKSI8, SAMARINDA – Ketimpangan tarif layanan transportasi online di Kalimantan Timur memicu gelombang protes dari para driver.

Maxim, salah satu aplikator transportasi daring, disebut masih menggunakan tarif lama sebesar Rp12.000 per trip untuk kendaraan roda empat, jauh di bawah ketentuan yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur Kaltim Nomor 100.3.3.1/K.673/2023.

SK yang diteken pada 19 September 2023 itu menetapkan tarif dasar minimal Rp18.000 per trip, namun hingga 1 Juli 2025, Maxim belum menyesuaikan diri.
Sebaliknya, dua kompetitor besar, Gojek dan Grab, telah menyesuaikan tarif masing-masing menjadi Rp18.800 dan Rp19.200. Perbedaan ini dinilai menciptakan persaingan tidak sehat dan merugikan para mitra driver.
Ketua Bubuhan Driver Gojek Samarinda (Budgos), Ivan Jaya, menilai pelanggaran tarif ini tak bisa terus dibiarkan.
Ia mendesak pemerintah provinsi, khususnya Dinas Perhubungan Kaltim, untuk menindak tegas aplikator yang tidak mematuhi ketentuan.
“Gojek dan Grab sudah mengikuti SK Gubernur. Tapi Maxim belum. Kami minta Dishub Kaltim menindak tegas Maxim yang tidak patuh. Kalau perlu, cabut izinnya,” tegas Ivan, Selasa (1/7).
Ivan menjelaskan bahwa para driver seharusnya menerima penghasilan bersih minimal Rp18.000 sekali jalan untuk trip terdekat (0–4 km).
Ia khawatir jika situasi ini terus dibiarkan, maka kompetitor lain pun bisa tergoda menurunkan tarif mereka demi bersaing.
“Itu yang kami minta sejak awal. Sekarang Grab sudah Rp19.200, Gojek Rp18.800. Tapi Maxim masih bertahan di Rp12.000. Ini sudah enggak sehat. Kalau dibiarkan, Gojek dan Grab bisa saja turunkan tarif lagi demi bersaing,” ujarnya.
Maxim disebut masih menggunakan dasar hukum lama, yakni Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 11 Tahun 2018. Padahal, menurut para driver, peraturan itu sudah tak relevan dengan kondisi ekonomi saat ini.
“Itu tarif zaman BBM masih premium sekarang enggak ada BBM Premium. Sekarang tahun 2025, biaya hidup sudah tinggi. Tapi dasar hukum tarif belum berubah. Ini jadi celah yang dimanfaatkan aplikator seperti Maxim,” katanya.
Ivan menyinggung soal tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Perhubungan dan Pemprov Kaltim, yang menyebabkan kebingungan dalam implementasi dan penegakan aturan.
“SK Gubernur seharusnya cukup jadi dasar, tapi enggak diindahkan oleh aplikator karena enggak ada sanksi tegas. Pemerintah daerah jadi bingung. Ini yang kami desak: ada penegakan aturan,” ujarnya.
Tak hanya layanan roda empat, keluhan datang dari layanan roda dua, terutama dalam hal pengantaran makanan dan barang.
Banyak driver mengaku hanya mendapatkan upah Rp2.000 hingga Rp6.000 per pesanan.
“Kita bawa penumpang dapat Rp9.200, tapi antar makanan kadang cuma Rp5.000. Padahal beban biayanya lebih berat. Kita harus nunggu di resto, bayar parkir. Tapi karena enggak ada aturan soal itu, aplikator seenaknya bikin tarif promosi,” kata Ivan.
Sebagai bentuk protes, Aliansi Mitra Kaltim Bersatu (AMKB) yang terdiri dari komunitas driver online dari berbagai aplikator, berencana menggelar aksi pada Senin, 7 Juli 2025.
Mereka menuntut janji Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud dan Wakil Gubernur Seno Aji untuk memberikan sanksi nyata kepada Maxim.
AMKB berharap pemerintah provinsi segera memanggil perwakilan Maxim untuk memastikan mereka tunduk pada tarif resmi di Kaltim.
Bila tidak, driver mendesak agar izin operasional aplikator tersebut dicabut.