REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Di balik gemuruh pembangunan Kalimantan Timur sebagai wilayah strategis dan calon ibu kota negara, masih terselip persoalan mendesak yang luput dari sorotan utama, satu diantaranya kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Persoalan tersebut tidak hanya menjadi luka sosial yang terus menganga, tetapi juga menjadi tantangan moral dan kemanusiaan yang harus segera direspons secara kolektif dan berkelanjutan.

Salah satu suara yang paling lantang menyuarakan keprihatinan ini datang dari Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur.
Sulasih, anggota Komisi III DPRD Kaltim, tampil sebagai sosok yang tidak hanya berbicara di forum-forum resmi, tetapi juga bergerak aktif di akar rumput.
Ia tidak hanya mengungkapkan keprihatinan dalam kata-kata, tetapi menjadikannya sebagai agenda kerja yang nyata dan konsisten.
Menurut Sulasih, isu perlindungan terhadap perempuan dan anak tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah.
Ia menekankan, persoalan itu membutuhkan partisipasi lintas sektor, mulai dari masyarakat umum, lembaga pendidikan, organisasi keagamaan, hingga komunitas sosial.
“Ini bukan hanya tugas pemerintah,” tegasnya dalam sebuah pernyataan yang mencerminkan kegelisahan sekaligus komitmennya terhadap isu tersebut.
“Perlindungan perempuan dan anak hanya bisa terwujud apabila semua pihak terlibat aktif. Kita butuh kesadaran kolektif bahwa kekerasan bisa dicegah, dan itu dimulai dari pendidikan serta pendekatan sosial yang menyeluruh,” sambung Sulasih dengan penuh keyakinan.
Apa yang disampaikannya bukanlah omong kosong. Sebagai Ketua Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) Kalimantan Timur dan Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kaltim, Sulasih memanfaatkan perannya untuk menjangkau langsung masyarakat.
Ia kerap turun ke lapangan, tidak hanya dalam kapasitas formal sebagai anggota dewan, tetapi juga sebagai aktivis sosial yang memiliki kepekaan tinggi terhadap kondisi perempuan dan anak-anak yang kerap menjadi korban kekerasan, baik fisik maupun psikologis.
Ia menginisiasi dan memfasilitasi berbagai kegiatan seperti seminar edukatif, dialog interaktif, pelatihan kesadaran hukum, hingga penyuluhan ke sekolah-sekolah dan majelis taklim.
Dalam setiap pertemuan itu, ia tak lelah menyuarakan pentingnya menciptakan ruang aman bagi perempuan dan anak, mulai dari lingkungan keluarga hingga ruang publik.
“Melalui sosialisasi yang masif dan berkelanjutan, kita bisa mengubah cara pandang masyarakat terhadap kekerasan. Kita ajarkan bahwa ini bukanlah hal normal atau yang bisa ditoleransi, melainkan kejahatan yang harus diberantas bersama-sama,” jelasnya.
Sulasih menyoroti, perlunya keadilan gender sebagai pondasi dari sistem perlindungan yang efektif.
Ia menyatakan bahwa regulasi tidak akan berarti jika tidak diiringi dengan perubahan pola pikir dan budaya.
Dalam pandangannya, perlindungan sejati berarti memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin, memiliki hak yang sama untuk hidup dengan aman dan bermartabat.
“Kita harus mulai dari hal yang paling mendasar: pendidikan nilai-nilai kesetaraan di rumah, di sekolah, di tempat ibadah. Ketika itu terbentuk, maka respons terhadap kekerasan pun akan berubah. Korban akan berani bersuara, pelaku akan berpikir dua kali, dan masyarakat akan punya mekanisme perlindungan yang lebih kuat,” ucapnya.
Tidak berhenti pada advokasi di level masyarakat, Sulasih juga aktif mendorong pemerintah daerah untuk memperbanyak program edukatif, membentuk tim respons cepat terhadap kasus kekerasan, serta menyediakan layanan pemulihan yang layak bagi korban.
Ia percaya, pendekatan yang komprehensif—melibatkan edukasi, advokasi, regulasi, dan pelayanan langsung—akan mempercepat tercapainya lingkungan yang benar-benar aman dan adil bagi perempuan dan anak-anak.
“Kalau kita serius menjalankannya, dampaknya akan nyata. Kasus bisa ditekan, penanganannya bisa lebih cepat dan tepat, dan korban merasa dilindungi, bukan disalahkan atau diabaikan,” ungkapnya penuh harap.
Dalam dinamika politik yang seringkali sibuk dengan urusan pembangunan fisik dan infrastruktur, Sulasih menghadirkan wajah berbeda dari seorang legislator—sosok yang tidak melupakan dimensi sosial dan kemanusiaan dari pembangunan.
Ia percaya, membangun daerah tidak cukup hanya dengan jalan raya atau gedung pencakar langit, tetapi juga dengan memastikan setiap warga, terutama kelompok rentan, mendapatkan perlindungan dan perlakuan yang adil.
Sulasih, dengan segala keterlibatannya, menjadikan perlindungan perempuan dan anak sebagai perjuangan yang nyata, bukan sekadar narasi kosong di ruang sidang.
Ia hadir di lapangan, mendengar langsung suara korban, dan memperjuangkan perubahan nyata di tingkat kebijakan dan masyarakat.
Dalam dunia yang kerap menyederhanakan isu-isu sosial menjadi statistik, kehadirannya menjadi bukti bahwa empati dan aksi masih bisa berjalan seiring.