“Kami menggugat karena klien kami digaji di bawah UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) dari 2016 hingga 2024. Tapi dalam persidangan, pihak kampus justru mempersoalkan status dosen Sri Evi,” ujar Titus kepada awak media pasca persidangan.
Padahal, kata Titus, gugatan difokuskan pada kekurangan upah yang diterima Sri Evi sebagai Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Laboratorium, bukan sebagai dosen. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) yang diajukan dalam persidangan, Sri Evi diangkat menjadi Kepala Plt UPT pada 1 Februari 2016, dan kemudian menjadi Kepala definitif UPT Laboratorium pada 13 Oktober 2017 silam. Jabatan ini diemban hingga 2024 tanpa pemberhentian resmi.
“Dia digaji Rp526 ribu pada 2016, sementara UMK saat itu lebih dari Rp2 juta. Selisihnya signifikan. Itu pun baru dapat slip gaji pertama kali tahun 2023,” ungkap Titus.
Lebih lanjut, pihak penggugat telah melampirkan enam item bukti, termasuk slip gaji, SK pengangkatan, dan penetapan dari Dinas Pengawas Ketenagakerjaan Provinsi Kaltim yang menyebut adanya kekurangan pembayaran upah. Meski penetapan hanya menghitung kekurangan dari 2016–2019, pihak penggugat memperluas hitungan hingga 2024.
Total kekurangan upah yang dituntut mencapai Rp206.211.408. Hal ini berdasarkan perbandingan antara gaji pokok dan UMK yang berlaku setiap tahun sejak 2016.
Sementara itu, pihak tergugat menyoroti bahwa Sri Evi masih aktif sebagai dosen di UWGM. Menurut Titus, argumen ini menyesatkan karena gaji sebagai dosen dan sebagai pegawai struktural adalah dua hal berbeda.
“Dia punya SK sebagai Kepala UPT. Itu jelas jabatan struktural, dan upahnya harus sesuai ketentuan UMK,” tegasnya.
Titus juga mengungkap bahwa alasan pihak kampus menonjobkan kliennya pada September 2024 karena dianggap “jenuh” dengan kehadiran Sri Evi. Alasan ini dinilai tidak berdasar dan tidak sesuai prosedur ketenagakerjaan, karena tidak ada pelanggaran yang dilakukan penggugat selama menjalankan tugas.
Selain upah yang tak sesuai standar, penggugat juga menyoroti bahwa peraturan internal kampus yang membatasi masa jabatan belum disahkan oleh Dinas Tenaga Kerja (Disnaker). Hal ini dianggap tidak sah secara hukum.
“Klien kami sudah menempuh upaya mediasi, baik di Disnaker Kota maupun Provinsi, tapi tak membuahkan hasil. Maka, gugatan ini jadi satu-satunya jalan demi mendapatkan keadilan,” tutupnya.