REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Menjelang akhir tahun ajaran, saat para siswa bersiap meninggalkan bangku sekolah dan melangkah ke dunia baru, muncul sebuah perubahan yang menggugah.

Tidak ada lagi acara perpisahan yang diadakan di hotel berbintang atau dengan pesta megah.

Sebaliknya, perpisahan itu berlangsung di halaman sekolah, tempat semua kenangan itu dimulai.
Pemerintah, melalui surat edaran resmi, telah melarang penyelenggaraan acara perpisahan sekolah di luar lingkungan sekolah, terutama yang melibatkan pungutan biaya.
Kebijakan ini hadir sebagai respons terhadap fenomena yang selama ini berkembang, di mana banyak sekolah mengadakan acara perpisahan dengan biaya yang tidak sedikit, yang memicu ketimpangan sosial di antara orang tua siswa.
Pernyataan tersebut langsung mendapatkan perhatian dari Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, yang menilai kebijakan ini sangat relevan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat saat ini.
Darlis Pattolongi, Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, menyambut positif keputusan pemerintah tersebut.
Baginya, esensi dari acara perpisahan sekolah bukanlah terletak pada kemewahan tempat atau biaya yang dikeluarkan, tetapi pada makna kebersamaan yang dapat dirasakan oleh semua pihak.
“Yang kita jaga di sini adalah rasa keadilan. Tidak semua orang tua berada dalam kondisi ekonomi yang sama, dan kita tidak bisa memaksakan semua orang untuk mengeluarkan biaya besar hanya untuk sebuah acara perpisahan,” ungkap Darlis Pattolongi dalam sebuah wawancara di Samarinda.
Kekhawatiran Darlis itu berakar dari realitas yang ada di masyarakat. Sebagai seorang politisi dan juga Ketua Komite di SMA Negeri 4 Samarinda, Darlis melihat langsung dinamika sosial yang terjadi di sekolah.
Banyak orang tua yang sebenarnya ingin menyaksikan anak-anak mereka merayakan momen bersejarah tersebut, namun terbebani oleh biaya yang tidak sedikit.
“Bagi orang tua yang mampu, tentu ini bukan masalah besar. Tapi bagi yang kurang mampu, acara perpisahan ini bisa menjadi beban berat. Bahkan bisa memunculkan rasa malu yang membuat anak-anak enggan hadir di acara tersebut,” kata Darlis dengan nada serius.
SMA Negeri 4 Samarinda, tempat Darlis menjadi Ketua Komite, sebelumnya juga sempat merencanakan perpisahan di sebuah hotel dengan biaya iuran yang telah disepakati bersama orang tua siswa.
Namun, setelah adanya edaran resmi dari pemerintah, sekolah segera menggelar pertemuan ulang dengan para orang tua. Dalam pertemuan tersebut, keputusan untuk membatalkan acara perpisahan di hotel pun diambil.
“Kami langsung mengadakan pertemuan ulang dengan orang tua, membatalkan rencana yang sudah disusun, dan kami mengembalikan seluruh dana yang terkumpul. Hanya sebagian kecil yang sudah digunakan untuk kegiatan pelatihan tari dan pembuatan medali,” jelas Darlis, menjelaskan langkah konkret yang diambil oleh pihak sekolah untuk mendukung kebijakan pemerintah tersebut.
Meski rencana awal dibatalkan, Darlis dan pihak sekolah tidak ingin mengecewakan para siswa yang sudah mempersiapkan diri dengan penuh semangat.
Mereka yang telah berlatih menari, memesan seragam, dan menyusun susunan acara, tetap diberikan kesempatan untuk merayakan perpisahan mereka.
Hanya saja, kali ini acara perpisahan tersebut digelar di sekolah, dengan suasana yang lebih sederhana namun penuh makna.
“Yang terpenting dalam perpisahan ini bukan kemewahan tempat, tetapi makna yang terkandung di dalamnya. Kebersamaan yang terjalin di antara siswa, orang tua, dan guru, itulah yang lebih penting,” tegas Darlis.
Menghindari beban tambahan pada orang tua, Darlis pun menggandeng alumni sekolah untuk berpartisipasi dalam acara tersebut.
Melalui semangat gotong-royong, para alumni menyumbangkan dana dan dukungan untuk memastikan perpisahan bisa terlaksana dengan baik.
Dari sinilah muncul semangat kebersamaan yang menguatkan hubungan antara generasi yang telah lulus dengan para siswa yang masih belajar.
“Alumni memberikan kontribusi yang sangat berarti. Dengan semangat gotong-royong ini, kita semua bisa membuat acara ini bermakna, tanpa harus membebani orang tua,” kata Darlis, mengenang bagaimana semangat kebersamaan mampu mewujudkan acara perpisahan yang penuh kenangan tersebut.
Perpisahan di SMA Negeri 4 Samarinda menjadi contoh inspiratif bagi sekolah-sekolah lainnya.
Di tengah sorotan terhadap pesta perpisahan yang sering kali mengedepankan kemewahan dan mengabaikan kesenjangan ekonomi, SMA Negeri 4 membuktikan perpisahan yang berkesan tidak harus selalu mewah.
Seringkali, yang paling membekas adalah yang sederhana, asalkan dilandasi dengan niat tulus, kebersamaan, dan rasa keadilan untuk semua pihak.
Melalui langkah ini, Darlis berharap bahwa lebih banyak sekolah yang mengikuti jejak SMA Negeri 4 Samarinda, mengutamakan keadilan dan kebersamaan dalam setiap momen penting, terutama bagi mereka yang berada dalam keterbatasan ekonomi.
Kebijakan ini bukan hanya soal mengurangi beban orang tua, tetapi juga memastikan bahwa setiap anak memiliki kesempatan untuk merayakan momen perpisahan mereka dengan sukacita, tanpa ada yang merasa tertinggal.
“Acara perpisahan bukan tentang tempat yang mewah, tetapi tentang kebersamaan yang tercipta. Dan itulah yang kami ingin pastikan, bahwa setiap siswa dapat merasakan perpisahan dengan penuh makna,” tutup Darlis dengan semangat.