REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Langit Samarinda memang masih membiru seperti biasa, namun denyut ekonominya tak lagi sehangat dulu.
Suasana yang dulunya semarak di lobi-lobi hotel berbintang dan ruang pertemuan kini berubah menjadi sepi dan hening.
Tempat-tempat yang selama ini menjadi sentra kegiatan birokrasi kini perlahan kehilangan perannya.
Ini bukan sekadar perubahan musiman, melainkan dampak nyata dari kebijakan pemangkasan anggaran oleh pemerintah pusat yang mulai dirasakan keras oleh daerah-daerah, termasuk Kalimantan Timur.
Nurhadi Saputra, Sekretaris Komisi II DPRD Kalimantan Timur, angkat bicara terkait fenomena ini. Ia menggambarkan situasi dengan nada yang serius dan penuh keprihatinan.
Menurutnya, pemotongan anggaran pusat—yang berdampak pada pembatasan perjalanan dinas, rapat koordinasi, dan kegiatan instansi pemerintahan lainnya—telah menimbulkan efek berantai terhadap perekonomian lokal.
“Yang terdampak bukan hanya hotel. Katering, transportasi, laundry, hingga UMKM yang selama ini menyuplai kebutuhan kegiatan pemerintahan ikut merasakan dampaknya,” kata Nurhadi di sela rapat di Gedung DPRD Kaltim, dengan nada suara mantap namun penuh kegundahan.
Menurut Nurhadi, roda ekonomi di Kalimantan Timur selama ini sangat bergantung pada dinamika belanja pemerintah, terutama kegiatan instansi yang memanfaatkan jasa lokal.
Ketika kegiatan rapat luar kantor, bimbingan teknis, atau seminar-seminar ditiadakan atau dibatasi secara ketat, maka pelaku usaha di sektor jasa langsung kehilangan pangsa pasar utama mereka.
Ia menyebut banyak hotel di Samarinda yang kini hanya mengandalkan penyewaan kamar individu tanpa kegiatan skala besar seperti sebelumnya.
Ruang-ruang pertemuan yang dulunya penuh jadwal kini nyaris kosong.
Dampaknya menjalar ke banyak lini: perusahaan transportasi sepi order, vendor makanan dan minuman kehilangan pesanan, bahkan pemilik warung kopi di sekitar kantor-kantor pemerintah ikut terdampak.
“Kami tidak menolak efisiensi. Tapi kebijakan ini seperti disusun tanpa mempertimbangkan struktur ekonomi daerah. Harusnya bisa lebih kontekstual,” tegasnya.
Nurhadi mencontohkan daerah seperti Jambi yang mengandalkan sektor jasa dan perdagangan sebagai salah satu penyumbang utama Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Jika aktivitas pemerintahan dibatasi secara ketat tanpa solusi alternatif, maka bukan hanya pelaku usaha yang dirugikan, tetapi juga keuangan daerah yang berpotensi stagnan.
Ia menilai, kebijakan pusat seharusnya tidak hanya berorientasi pada penghematan angka-angka di atas kertas, tetapi juga harus mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem ekonomi lokal.
Menurutnya, pemerintah pusat perlu membuka ruang diskusi dan menjalin komunikasi dua arah dengan pemerintah daerah agar bisa menyusun skema efisiensi yang adaptif dan berkelanjutan.
“Ini bukan hanya soal penghematan, tapi juga soal kelangsungan hidup. Banyak warga menggantungkan hidup dari aktivitas yang kini dipangkas. Negara harus hadir memberi solusi, bukan sekadar memotong,” ujarnya.
Tak berhenti pada kritik, Nurhadi juga menyampaikan solusi.
Ia mengusulkan agar efisiensi anggaran dapat dijalankan dengan model skema efisiensi adaptif, yang tidak menihilkan seluruh kegiatan, melainkan memodifikasi pelaksanaannya agar tetap produktif namun hemat.
Misalnya, dengan mengganti model kegiatan tatap muka menjadi hybrid, atau memprioritaskan penggunaan layanan dari pelaku usaha lokal secara optimal.
Ia mendorong Pemprov Kaltim untuk membuat simulasi anggaran yang bisa menyeimbangkan efisiensi dan keberlangsungan ekonomi lokal.
Dengan pendekatan ini, instansi pemerintah tetap dapat menjalankan tugasnya, sementara pelaku usaha tidak sepenuhnya kehilangan penghasilan.
“Harus ada desain ulang dalam pola belanja pemerintah, yang tidak hanya efisien secara fiskal, tetapi juga adil secara sosial. Jangan sampai efisiensi ini malah memiskinkan sektor jasa dan UMKM kita,” pungkas Nurhadi.
Melalui pernyataannya, Nurhadi mengajak semua pemangku kebijakan, baik di pusat maupun di daerah, untuk lebih peka terhadap kondisi di lapangan.
Kebijakan fiskal, menurutnya, tidak boleh menjadi keputusan yang menutup mata terhadap nasib ribuan orang yang terdampak secara langsung maupun tidak langsung.
Dari hotel berbintang hingga penjual gorengan di pinggir kantor, semua kini menunggu kehadiran tamu yang tak kunjung datang.
Namun dengan suara yang disuarakan oleh para wakil rakyat seperti Nurhadi, harapan akan hadirnya solusi yang lebih bijak dan manusiawi tetap menyala.
Samarinda mungkin tengah sunyi, tetapi suara perjuangan untuk ekonomi lokal terus bergema dari dalam Gedung DPRD.

