Dia mendukung penuh program tersebut, meski merasa khawatir karena adanya keterlambatan dalam pelaksanaannya.
“Kalau memang jadi, alhamdulillah. Kita bersyukur. Tapi jangan cuma wacana terus,” ujar Ibu Ani sambil menunggu anaknya, Nazwan Faisal, siswa kelas 8J yang akan pulang sekolah.
Menurutnya, program ini sangat membantu para orang tua, apalagi dalam kondisi ekonomi yang sulit.
“Uang jajan anak-anak mungkin bisa dialihkan buat tabungan atau kebutuhan lain. Tapi tetap harus dikasih, ya, untuk jaga-jaga,” tambahnya.
Namun, dirinya pun menyoroti soal menu makanan yang direncanakan seharga Rp12.500 per porsi.
“Kalau cuma nasi, telur, sama susu, sih, cukup. Tapi kalau ditambah lauk lain, mungkin agak pas-pasan. Anak-anak juga beda-beda selera, ada yang gak doyan ayam, ada yang gak doyan ikan,” jelasnya.
Ani juga membandingkan program serupa yang sudah berjalan di Jawa.
“Di sana porsinya Rp10.000, tapi mencukupi. Kalau di Kaltim, apa-apa mahal. Jadi semoga porsinya sesuai kebutuhan anak-anak,” harapnya.
Ani juga merasa kecewa atas penundaan pelaksanaan program ini di Samarinda.
Sebagai orang tua, Ani berharap pemerintah bisa segera merealisasikan program ini.
“Sekolah lain di Jawa sudah jalan, kenapa di sini belum? Kalau terus ditunda, kita jadi ragu ini benar-benar jalan atau cuma wacana,” tanyanya.
Tak hanya itu, bagi Ani, keberlanjutan program tersebut juga penting.
“Jangan cuma setahun, terus berhenti. Ekonomi lagi susah. Kalau program ini jalan, pasti meringankan beban orang tua,” tegasnya.
Disamping itu, Ani menekankan pentingnya pemenuhan gizi dalam program ini.
“Yang penting gizinya cukup. Anak-anak jadi terbiasa makan sayur dan makanan sehat. Kalau bisa, tambahkan buah atau susu, biar lebih lengkap,” tutupnya penuh harap.
Lebih lanjut, Pengamat ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo, mengatakan bahwa keterlambatan ini menunjukkan kurangnya persiapan matang dari pemerintah.
“Program ini terkesan tergesa-gesa tanpa perencanaan yang matang. Infrastruktur keuangan untuk mendukungnya jelas belum siap,” ujarnya.
Sebagai contoh, anggaran untuk Makan Bergizi Gratis ini hanya Rp10 ribu per anak dari pemerintah pusat, sementara pemerintah provinsi menambahkannya dengan Rp7 ribu, menjadikan totalnya Rp17 ribu per anak.
Namun, bagi Purwadi, angka tersebut masih terlalu rendah.
“Dengan APBD Kaltim yang mencapai Rp25 triliun pada 2024, seharusnya anggaran untuk program ini lebih tinggi, minimal Rp20 ribu hingga Rp25 ribu per anak,” tegasnya.
Ia menambahkan, kenaikan harga bahan pokok di Kaltim membuat angka Rp17 ribu per anak terasa tidak mencukupi.
Hal itu pun semakin mencolok karena perbedaan harga bahan pokok di tiap daerah. Purwadi menduga, adanya ketidakadilan antara daerah.
“Di Samarinda mungkin Rp10 ribu cukup, tapi di daerah seperti Mahulu atau Penajam Paser Utara, harga itu bisa sangat terbatas,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga mengkritik alokasi anggaran yang seharusnya lebih difokuskan pada pendidikan dan kebutuhan gizi anak-anak sekolah, bukan sekadar program pemenuhan kebutuhan makan semata.
Polemik ini semakin memanas mengingat adanya program serupa yang digagas oleh pemerintah pusat. Dalam skala nasional, program MBG ini menyasar 82,9 juta penerima, dari ibu hamil hingga siswa-siswi sekolah.
Meski demikian, dengan harga per porsi hanya Rp10 ribu, Purwadi menilai bahwa pemerintah kurang memperhatikan kondisi di lapangan.
Adapun, anggaran untuk makan pejabat juga menjadi sorotan.
“Anggaran makan pejabat bisa dialihkan untuk program MBG. Bayangkan, berapa banyak anggaran yang bisa disalurkan untuk anak-anak yang membutuhkan,” tuturnya.
Program MBG ini memang mendapat perhatian besar karena merupakan salah satu janji politik dari pasangan calon gubernur Kaltim terpilih, Rudy Mas’ud dan Seno Aji.
Faktanya, program itu menghadapi tantangan terbesar yaitu koordinasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Terlebih lagi, dengan beban anggaran yang begitu besar, Purwadi mengingatkan pentingnya pengelolaan yang efisien dan berkelanjutan.
“Anggaran harus benar-benar untuk kesejahteraan rakyat, bukan sekadar formalitas,” tegasnya.
Dengan APBD yang besar, Kaltim sebenarnya memiliki potensi untuk mengalokasikan lebih banyak dana untuk MBG.
“Kaltim punya APBD besar dan jumlah penduduk yang tidak terlalu banyak, jadi sebenarnya kita bisa lebih optimal dalam mengalokasikan anggaran untuk program ini,” lanjut Purwadi.
Ia berharap, pemerintah daerah bisa lebih memperhatikan dampak ekonomi bagi masyarakat kecil, khususnya dalam sektor riil.
Program ini bukan hanya soal pemberian makan bergizi. Harusnya, lanjut Purwasi, investasi dalam pembangunan sumber daya manusia yang seharusnya mendapat perhatian lebih.
“Jika kita ingin mencetak generasi emas, program MBG ini harus mendapat anggaran yang memadai,” kata Purwadi.
Walhasil, publik menunggu realisasi program yang seharusnya menjadi prioritas utama bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah.



