Fakta kematian Hasan baru terbongkar dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPRD Tapanuli Tengah, Senin (26/5/2025), setelah seorang mahasiswa melakukan aksi tunggal di Gedung DPRD dan mendesak transparansi serta investigasi menyeluruh terhadap kasus ini.
Sorotan tertuju pada potensi paparan zat berbahaya di sistem pendingin utama (Main Cooling Water Pump) PLTU milik PT Indonesia Power UBP Labuhan Angin.
“Dari hasil medis, tidak ditemukan adanya keracunan. Memang korban sempat tidak sadar, tapi bukan karena zat berbahaya,” ujar Defri, perwakilan PT Indonesia Power, dalam rapat.
Ia menambahkan bahwa Hasan bukan pekerja internal, melainkan teknisi dari vendor, PT Lima Purnama Sukses (LPS), yang ditugaskan dalam pengerjaan overhaul.
Menurut Defri, Hasan sempat menunjukkan perkembangan kondisi yang positif sebelum akhirnya meninggal dunia. Tapi pernyataan itu tidak membuat anggota DPRD puas.
Abdul Basir Situmeang, Ketua Badan Kehormatan DPRD Tapteng, justru menyebut penjelasan perusahaan menyimpan banyak kejanggalan.
“Penjelasan ini tidak memuaskan. Ada indikasi informasi disembunyikan dan pemberitaan dihapus. Kami curiga ada upaya membungkam publik,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa DPRD akan mengawal pengusutan hingga ke tingkat pusat. “Kami akan bawa ini ke Kementerian BUMN, Kemenaker, dan manajemen pusat Indonesia Power. Kami ingin buka seluruh data: rekam medis, kronologi evakuasi, hingga kondisi lapangan saat kejadian,” tegas politisi NasDem itu.
RDP ini menjadi pintu awal dari investigasi yang lebih besar. DPRD Tapteng menyatakan komitmennya untuk menuntut kejelasan penuh dan memastikan tidak ada nyawa pekerja yang melayang sia-sia di balik tembok industri.
Kematian Hasan kini menjadi simbol dari perlunya transparansi, perlindungan pekerja, dan akuntabilitas di lingkungan kerja berisiko tinggi seperti PLTU.
Apakah ini hanya kecelakaan kerja biasa atau ada sesuatu yang disembunyikan? Waktu dan penyelidikan lanjutan akan menjawabnya.