REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) terbaru telah disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI pada 20 Maret 2025.

Setelahnya, DPR RI berencana merevisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (UU Polri). Namun, hal tersebut ternyata menuai kritik dari berbagai pihak.
Salah satunya Pengamat politik yang juga akademisi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah.
Herdiansyah menilai revisi tersebut sebagai upaya mengembalikan peran ganda militer dan kepolisian dalam kehidupan sipil, yang sebelumnya telah dihapuskan dalam reformasi 1998.
Menurutnya, meski tidak secara langsung menghidupkan kembali dwifungsi ABRI seperti di era Orde Baru, revisi ini memberikan peluang lebih besar bagi TNI dan Polri untuk mengambil peran dalam pemerintahan sipil.
“Sekarang bentuknya berbeda, alias ada semacam metamorfosa dwifungsi TNI/Polri itu. Di dalam undang-undang TNI yang disahkan kemarin itu revisinya kan diperluas misalnya pos-pos jabatan sipil yang bisa diduduki oleh TNI aktif, militer aktif,” ujarnya dalam wawancara daring (26/3/2025).
UU TNI juga mencakup perpanjangan usia pensiun dan perluasan kewenangan. Perluasan kewenangan ini membuka ruang bagi aparat untuk lebih jauh terlibat dalam agenda sosial politik.
Sementara itu, rancangan revisi UU Polri juga tak lepas dari kontroversi. Salah satu poin yang dikritik adalah kewenangan Polri dalam mengawasi aktivitas siber masyarakat.
“Bayangkan kalau kemudian persoalan aktivitas cyber publik itu dikontrol oleh Polri. Ada ruang penyalahgunaan kekuasaan untuk menyerang warga negara atas nama kewenangan yang dimiliki dalam rancangan undang-undang. Itu berbahaya sekali,” terang Herdiansyah.
Di sisi lain, aksi protes terus bergejolak menanggapi UU TNI dan Polri. Menjelang hari raya idul fitri, berbagai demonstrasi masih digelar di berbagai kota menuntut agar pemerintah membatalkan UU TNI.