REDAKSI8.COM, JAKARTA – Pimpinan Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dijalankan pemerintah sejak awal tahun. Alih-alih menjadi solusi menekan angka stunting dan memperbaiki gizi anak bangsa, program ini justru menuai keresahan publik akibat maraknya kasus keracunan massal, lemahnya pengawasan, hingga menu makanan yang kontroversial.
Berdasarkan data Badan Gizi Nasional (BGN) hingga 22 September 2025, tercatat 4.711 kasus gangguan kesehatan akibat MBG di berbagai daerah. Rinciannya, 1.281 korban di Sumatra, 2.606 di Jawa, dan 824 korban tersebar di Kalimantan, Sulawesi, serta Indonesia Timur.
Sementara itu, BPOM melaporkan terjadi 17 kejadian luar biasa (KLB) keracunan MBG di 10 provinsi sepanjang Januari–Mei 2025. Sumatra: 174 siswa di Kabupaten PALI, Sumatra Selatan, dan delapan siswa SDN 7 Tebing Tinggi, Empat Lawang, alami keracunan.
Jawa: 569 siswa di Garut, Jawa Barat, mengalami mual dan muntah massal. Di Cianjur, 21 siswa MAN 1 sakit, dan 19 siswa di Gunungkidul, Yogyakarta, keracunan. Insiden serupa terjadi di Lamongan dan Tasikmalaya. Kalimantan: 29 siswa SDN 003 Nunukan, Kalimantan Utara, terdampak. Di Ketapang, Kalimantan Barat, 25 orang termasuk guru keracunan setelah mengonsumsi menu MBG berisi ikan hiu goreng yang menimbulkan kontroversi dari sisi gizi dan lingkungan.
Sulawesi: 277 siswa di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, keracunan, dengan 32 orang dirawat di RS. Di Baubau, Sulawesi Tenggara, 37 siswa alami gejala muntah dan diare. NTT: Lebih dari 140 siswa SD dan SMP di Kecamatan Kelapa Lima, Kupang, juga mengalami keracunan massal.
Ketua Bidang Kesehatan dan Ketenagakerjaan PP KAMMI, Muhammad Alfiansyah, SKM, menilai kasus-kasus tersebut sebagai bukti lemahnya pelaksanaan di lapangan.
“Ribuan anak terdampak kasus keracunan. Ini menunjukkan adanya persoalan serius dalam implementasi MBG. Program sebesar ini tidak boleh diluncurkan terburu-buru tanpa kesiapan dapur penyedia, tenaga gizi, dan distribusi yang baik,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kasus di Kalimantan Barat yang menyajikan menu ikan hiu. Menurutnya, hal itu menunjukkan lemahnya regulasi, kurasi menu, dan menimbulkan masalah lingkungan.
Ketua Umum PP KAMMI, Ahmad Jundi Khalifatullah, M.K.M, menegaskan perlunya evaluasi total. “KAMMI mendukung penuh agenda perbaikan gizi nasional, tetapi jika program ini lebih banyak mudarat daripada manfaat, maka penghentian sementara adalah langkah rasional. Jangan sampai ambisi politik mengorbankan masa depan anak bangsa,” tegasnya.
PP KAMMI mendorong agar MBG ditinjau ulang dan dijalankan secara bertahap, khususnya di daerah dengan prevalensi stunting tinggi dan wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Usulan mereka antara lain:
1. Tahap awal 1–2 tahun difokuskan ke daerah rawan stunting untuk memastikan kesiapan dapur penyedia, tenaga gizi, dan distribusi.
2. Daerah dengan stunting rendah ditunda pelaksanaannya agar anggaran lebih tepat sasaran dan tidak membebani fiskal negara.
3. Penguatan Badan Gizi Nasional (BGN) hingga ke tingkat daerah, dengan kewenangan penuh dalam koordinasi dan pengawasan.
4. Audit independen terhadap kualitas pangan, transparansi anggaran, serta keterlibatan akademisi dan masyarakat sipil dalam evaluasi.
Sebagai organisasi mahasiswa yang konsisten mengawal isu strategis bangsa, KAMMI menegaskan bahwa pembangunan sumber daya manusia tidak boleh dilakukan secara gegabah. Program MBG harus benar-benar menjadi solusi kesehatan, bukan sumber masalah baru.
“MBG seharusnya hadir sebagai investasi jangka panjang bagi generasi emas Indonesia, bukan sekadar proyek populis yang membahayakan ribuan anak,” pungkas Ahmad Jundi.
