REDAKSI8.COM, BANJARBARU – Hari Kartini yang diperingati setiap 21 April menjadi momen refleksi dan penghormatan bagi perjuangan perempuan Indonesia. Lebih dari sekadar simbol emansipasi, Hari Kartini adalah panggilan untuk terus melawan ketidakadilan, patriarki, dan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Di tengah dinamika sosial yang masih banyak membatasi ruang gerak perempuan, perjuangan perempuan hadir dalam berbagai bentuk, dari mereka yang menjaga kehangatan rumah tangga, menopang ekonomi keluarga, hingga yang memilih berdiri di garis depan melawan ketimpangan sosial.
“Perempuan bukan pelengkap, bukan bayang-bayang. Mereka adalah kekuatan yang bisa mengubah dunia,” ungkap Noor Zaidah.
Ia menjelaskan, Pemberdayaan perempuan, menurut para aktivis, tak hanya soal pendidikan dan keterampilan, tetapi juga keberanian untuk mengambil ruang dan menentukan arah hidupnya sendiri. Kemandirian bukan berarti berjalan sendiri, tapi mampu membuat keputusan yang berpijak pada kekuatan dan nilai dirinya.
“Namun di balik semangat emansipasi, tantangan nyata masih membayangi. Di Kalimantan Selatan, angka kekerasan terhadap perempuan masih tinggi,” tuturnya.
Ia memberikan bahwa data Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kalsel mencatat, sepanjang 2023 terdapat 408 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, 359 di antaranya korban perempuan. Kekerasan seksual menjadi bentuk kekerasan yang paling dominan.
Noor Zaidah yang juga calon Ketua KOPRI PKC PMII Kalimantan Selatan, menyoroti kondisi ini. Ia menyerukan agar semua pihak menciptakan ruang aman bagi perempuan dan menguatkan para korban kekerasan seksual.
“Perempuan harus terus berdaya dalam peran masing-masing. Kita perlu saling mendukung, menciptakan solidaritas, dan menjadi bagian dari perubahan,” ujarnya.
Semangat Kartini bukan hanya milik masa lalu. Ia hidup dalam setiap perempuan yang berani bangkit, tumbuh, dan mengangkat perempuan lain untuk ikut melangkah maju.

