Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Sumatera, Parlaungan Silalahi, SH, angkat bicara dengan nada tajam dan penuh keprihatinan. Ia menilai kasus ini sebagai bentuk ketidakadilan nyata yang mencederai hati nurani.
“Saya merasa miris, Barcode izin dari Dinas Kelautan memang sudah kadaluarsa, tapi SPBU tetap menjual dan menerima pembayaran resmi. Jadi, mengapa hanya Poltak yang ditahan? Kalau memang salah, kenapa petugas SPBU tidak ikut diperiksa?” tegas Parlaungan, Kamis (12/6/2025).
Menurutnya, tindakan aparat dalam kasus ini mencerminkan potret hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Padahal, Poltak hanya menjual BBM eceran di kampung—usaha kecil demi menyambung hidup.
“Coba hitung, kalau dia untung Rp2.000 per liter, itu cuma Rp140 ribu. Apa pantas keuntungan sebesar itu dijadikan alasan untuk menyeret orang ke penjara? Ini bukan kejahatan korupsi, ini soal bertahan hidup!” imbuhnya.
Parlaungan bahkan memperingatkan, praktik penegakan hukum yang menyasar rakyat kecil seperti ini bisa memicu krisis kepercayaan terhadap institusi hukum, khususnya di bawah yurisdiksi Pengadilan Negeri Sibolga.
Di balik kasus ini, ada derita yang tak terlihat. Bunga Minor Sormin, istri Poltak, menceritakan bagaimana hidup mereka runtuh sejak sang suami ditahan. Warung tutup, motor disita, dan modal usaha lenyap begitu saja.
“Kami bukan beli dari pasar gelap. Kami beli dari SPBU, bayar resmi. Suami saya bukan kriminal. Kami cuma bantu warga kampung biar nggak susah cari bensin,” ucap Bunga, air mata berlinang.
Derita mereka semakin dalam. Anak perempuan mereka yang baru lulus SMA terpaksa menunda mimpi mendaftar ke TNI AL karena tak bisa mengurus dokumen kesehatan dan tak punya ongkos ke kota.
“Saya mohon, tolong lihat kami sebagai manusia. Suami saya tidak bersenjata, tidak mencuri, tidak menipu. Dia hanya ingin kami makan dan hidup. Tapi kenapa malah diperlakukan seperti ini?” kata Bunga, suaranya tercekat.
Parlaungan menutup pernyataannya dengan sebuah seruan yang menggema, “Sudah waktunya aparat berhenti menggunakan hukum sebagai alat penindas rakyat kecil. Jika hukum tidak menghadirkan keadilan, maka apa yang tersisa dari kepercayaan masyarakat terhadap negara ini?”
Kini, masyarakat menanti: akankah hukum berdiri untuk membela yang lemah, atau terus menjadi senjata yang menghukum mereka yang paling tidak berdaya.