REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Krisis politik dan kemanusiaan yang terus membelenggu Myanmar sejak kudeta militer 2021 kembali jadi sorotan dalam kuliah umum bertajuk “Myanmar Crisis and The Future of ASEAN.”

Acara ini digelar oleh Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Mulawarman (Unmul) bekerja sama dengan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, pada Kamis (12/06).
Hadir sebagai pembicara utama, Lina Alexandra selaku Kepala Departemen Hubungan Internasional CSIS mengajak mahasiswa melihat lebih jauh akar konflik Myanmar dan dampaknya terhadap masa depan regionalisme di Asia Tenggara.
Tak hanya sebagai isu luar negeri, Lina menilai krisis Myanmar nilai sebagai ujian bagi relevansi Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sendiri di tengah dinamika geopolitik yang terus berubah.
“Siapa disini yang ujian akhirnya (Skripsi) tentang ASEAN? Atau ada yg menulis (paper) tentang ASEAN?” tanya Lina kepada puluhan mahasiswa semester enam HI Unmul.
Pertanyaan tersebut disambut angkat tangan oleh dua atau tiga orang saja.
“Jarang sekali ada karya ilmiah yang mengangkat soal Myanmar dan ASEAN. Padahal ini seharusnya jadi bahan refleksi penting untuk menakar masa depan regionalisme kita,” ujar Lina dengan nada prihatin.
Kuliah umum ini pun menjadi ruang reflektif bagi mahasiswa HI Unmul akan minimnya inisiatif mengangkat isu regional di ASEAN.
Dalam wawancara pasca agenda, Ketua Laboratorium Dinamika Sosial Global (DSG) HI, Rendy Wirawan menyebut kegiatan ini sebagai bagian dari misi laboratorium yang baru berdiri sejak April lalu.
Tujuannya jelas: menjembatani teori akademik dengan realitas politik yang berkembang.
Sebagai dosen, Rendy tak menampik bahwa minat mahasiswa terhadap isu ASEAN cenderung menurun.
Ia memahami bahwa forum-forum global seperti G20 mungkin terlihat lebih menarik, namun mengingatkan agar krisis di “halaman sendiri” tak dilupakan.
“ASEAN mungkin mulai dianggap kurang seksi. Ada kecenderungan minat berpindah ke forum-forum minilateral seperti G20. Tapi krisis Myanmar seharusnya jadi wake-up call bagi kita semua. Ini soal relevansi ASEAN di tengah tantangan kawasan,” tambahnya.
Diskusi ini sekaligus menjadi pengingat bahwa mahasiswa bukan hanya penonton dalam panggung geopolitik, melainkan bagian dari generasi yang punya andil dalam menjaga stabilitas kawasan.
Melalui forum seperti ini, mahasiswa diajak tidak hanya memahami teori hubungan internasional, tetapi juga berani mengambil posisi kritis terhadap masa depan Asia Tenggara dengan keberanian untuk peduli.