REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur melalui Komisi I dan Komisi IV kembali menunjukkan komitmennya dalam mengawal hak-hak masyarakat melalui penyelenggaraan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait penyelesaian sengketa lahan transmigrasi di kawasan Simpang Pasir, Kecamatan Palaran, Kota Samarinda, Rabu (30/04/2025).

RDP yang berlangsung di Gedung E Kantor DPRD Kaltim itu dipimpin oleh Sekretaris Komisi I, Salehuddin, dan didampingi oleh Ketua Komisi IV H. Baba, serta Sekretaris Komisi IV Darlis Pattalongi.
Selain itu, hadir pula Anggota Komisi I, Safuad, serta perwakilan dari unsur pemerintah di antaranya Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kaltim, Biro Hukum Setprov Kaltim, dan warga Simpang Pasir yang didampingi oleh tim kuasa hukum dari kantor Mariel Simanjorang & Rekan.
Dalam pemaparannya, Salehuddin menjelaskan, kasus ini merupakan kelanjutan dari proses penyelesaian yang sudah berlangsung lama dan bahkan sudah memiliki putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Ia menyebutkan, sebagian warga terdampak telah memperoleh haknya berupa kompensasi uang senilai Rp500 juta per kepala keluarga (KK).
“Sekitar 70 KK telah menerima ganti rugi dalam bentuk uang tunai, dan 14 KK lainnya juga sudah diselesaikan dengan skema serupa. Namun, masih terdapat 118 KK yang belum mendapatkan haknya hingga saat ini,” terang Salehuddin.
Ia menambahkan, dalam amar putusan pengadilan, bentuk penyelesaian yang diperintahkan bukanlah uang tunai, melainkan penggantian lahan. Namun demikian, tanah yang disengketakan kini telah digunakan dan dibangun menjadi aset milik Pemerintah Provinsi Kaltim, sehingga pelaksanaan putusan tidak bisa dilakukan secara langsung di lokasi awal.
Pemerintah sendiri telah menawarkan opsi pengganti berupa lahan lain yang berada di luar wilayah sengketa, seperti di Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Paser. Akan tetapi, tawaran ini ditolak oleh warga dengan alasan bahwa lokasi tersebut tidak relevan secara geografis, sosial, dan ekonomi.
Masyarakat khawatir kehilangan akses terhadap fasilitas publik dan tempat tinggal yang telah mereka kenal selama puluhan tahun.
“Warga merasa bahwa lahan pengganti tidak adil dan merugikan, baik dari sisi letak geografis maupun nilai ekonomis. Karena itu, opsi ini menimbulkan kebuntuan,” lanjut Salehuddin.
Komisi I dan IV bersama pihak-pihak terkait kini tengah berupaya mencari solusi hukum alternatif yang tetap berada dalam koridor regulasi.
Salah satu opsi yang sedang dikaji adalah kemungkinan memberikan kompensasi berupa uang tunai kepada 118 KK yang tersisa, dengan catatan mekanismenya tidak bertentangan dengan peraturan pengelolaan keuangan daerah.
“Jika opsi uang yang paling memungkinkan dan lebih diterima oleh warga, maka itu bisa kita perjuangkan. Tapi tetap harus melewati proses hukum dan administrasi yang ketat. Kita tidak ingin keputusan ini nanti menimbulkan masalah baru,” ujar Salehuddin.
Ia menegaskan, DPRD Kaltim akan berada di garda terdepan dalam memfasilitasi dialog dan mencari titik temu antara masyarakat dan pemerintah.
Ia menyatakan, pihaknya akan terus berkoordinasi secara intens dengan Sekretaris Daerah (Sekda), Gubernur Kaltim, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kejaksaan, dan Inspektorat untuk memastikan semua langkah penyelesaian berjalan sesuai hukum dan prinsip akuntabilitas.
“Kami tidak tinggal diam. DPRD hadir untuk membantu masyarakat, namun juga memastikan bahwa semua langkah penyelesaian tidak keluar dari aturan dan prinsip tata kelola yang baik. Kita juga sedang menunggu pendampingan dari Kejaksaan dan Inspektorat untuk mengkaji aspek hukum kompensasi bagi 118 KK tersebut,” jelasnya.
RDP kali ini menghasilkan kesepakatan awal bahwa proses mediasi dan negosiasi akan dilanjutkan, sembari menunggu hasil kajian hukum dan rekomendasi dari lembaga pendamping.
DPRD Kaltim berharap agar semua pihak dapat menahan diri, terus menjalin komunikasi, dan terbuka terhadap solusi yang mengedepankan keadilan serta kepastian hukum.
Dengan demikian, penyelesaian permasalahan lahan di Simpang Pasir diharapkan tidak hanya menjadi solusi jangka pendek, tetapi juga menjadi preseden baik bagi penyelesaian konflik agraria dan transmigrasi di wilayah lain di Kalimantan Timur.