REDAKSI8, SAMARINDA — Kejutan menyelimuti dunia pendidikan di Samarinda. Kepala SMA Negeri 10 Samarinda, Fathur Rachim, tiba-tiba dinonaktifkan dari jabatannya oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Timur (Disdikbud Kaltim). Tanpa pemberitahuan sebelumnya, pencopotan ini juga disusul oleh pemberhentian empat wakil kepala sekolah di hari berikutnya. Langkah drastis ini menuai sorotan, terutama karena menyangkut polemik eksekusi putusan Mahkamah Agung terkait pengelolaan sekolah tersebut.

Fathur mengaku terkejut saat menerima surat keputusan (SK) penonaktifan tersebut. Ia menyesalkan keputusan itu dilakukan tanpa komunikasi atau pemberitahuan lebih dulu dari pihak Disdikbud.

“Tidak ada pemberitahuan apa pun, termasuk soal pencopotan empat wakil kepala sekolah,” kata Fahur, Sabtu (28/06).
Fathur mempertanyakan dasar hukum pencopotannya. Ia menegaskan bahwa pengangkatannya sebagai kepala sekolah dilakukan melalui SK Gubernur, sehingga tidak seharusnya dapat dibatalkan oleh seorang Pelaksana Tugas (Plt).
“Saya diangkat lewat SK Gubernur. Bagaimana mungkin seorang Pelaksana Tugas bisa membatalkan SK itu?” ujarnya.
Meski merasa keputusan tersebut menyalahi prosedur, Fathur tetap menghormatinya sebagai bentuk etika aparatur sipil negara. Ia menyatakan tidak akan menggugat keputusan itu demi menjaga situasi kondusif di lingkungan sekolah.
“SMA 10 baru dapat predikat Garuda Transformasi dari Kemendikbud. Saya tak ingin prestasi ini tercoreng,” tambahnya.
Selain Fathur, empat wakil kepala sekolah juga diberhentikan secara bersamaan, yaitu: Mushadi Ikhsan (Wakil Kepala Bidang Humas), Sumirah (Wakil Kepala Bidang Kurikulum), Khairul Basari (Wakil Kepala Bidang Kesiswaan), serta Juliani (Wakil Kepala Bidang Sarpras). Posisi mereka telah digantikan oleh tim baru yang ditunjuk oleh Plt Kepala Sekolah.
Plt Kepala Disdikbud Kaltim, Armin, menyatakan bahwa pencopotan Fathur Rachim merupakan upaya mempercepat pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 27 K/TUN/2023. Putusan itu mewajibkan pemindahan kembali SMA Negeri 10 ke lokasi semula, di bawah naungan Yayasan SMA Melati, sebelum proses nasionalisasi.
“Langkah ini penting untuk mempercepat pemindahan dan mengamankan posisi hukum Pemprov,” tegas Armin.
Armin juga menegaskan bahwa pemerintah daerah wajib melaksanakan putusan hukum yang telah inkrah, sebagai bentuk kepatuhan terhadap sistem hukum.
“Kalau Pemprov Kaltim tak menjalankan putusan MA, maka bisa disalahkan secara hukum. Kita ini negara hukum,” pungkasnya.