REDAKSI8.COM, BANJARBARU – Kasus pelecehan seksual di Kalimantan Selatan (Kalsel) semakin mengkhawatirkan dan membutuhkan perhatian serius dari semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan juga masyarakat.
Menurut Noor Zaidah, Ketua Kopri PC PMII Banjarbaru, pelecehan seksual yang terjadi di Martapura dan Banjarbaru mencerminkan betapa mendesaknya edukasi tentang seksualitas bagi masyarakat, terutama bagi generasi muda.
“Tanpa pemahaman yang baik mengenai seks, anak-anak dan remaja seringkali terjebak dalam situasi yang tidak diinginkan, seperti hamil di luar nikah, yang berujung pada pernikahan dini,” jelas Noor Zaidah
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kalsel menunjukkan bahwa pada 2022, terdapat 250 warga di bawah usia 19 tahun yang menikah.
Zaidah menilai, angka ini sangat mencolok dan menunjukkan bahwa masalah pernikahan dini bukan hanya sekedar angka, tetapi juga sebuah fenomena sosial yang berdampak pada masa depan generasi muda.
“Pernikahan dini tidak hanya menahan anak-anak untuk mengakses pendidikan yang lebih baik, tetapi juga berisiko pada kesehatan fisik dan mental mereka, serta berpotensi menambah beban sosial dan ekonomi bagi keluarga,” tuturnya.
Edukasi seks yang menyeluruh di sekolah menjadi sangat penting sebagai langkah preventif untuk menanggulangi masalah ini. Selain memberikan pemahaman tentang konsekuensi fisik dan emosional dari hubungan seksual, pendidikan seks juga harus mencakup pentingnya hubungan yang sehat, hak-hak individu, serta cara mengidentifikasi dan mencegah pelecehan seksual.
Tanpa edukasi yang memadai, remaja cenderung tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk membuat keputusan yang tepat mengenai tubuh dan hubungan mereka, yang pada akhirnya dapat berujung pada berbagai masalah, termasuk pernikahan dini dan kekerasan seksual.
Pendidikan seks yang terintegrasi dalam kurikulum sekolah tidak hanya tentang pengetahuan biologis, tetapi juga tentang nilai-nilai kesetaraan, saling menghormati, dan perlindungan diri.
Dengan pemahaman yang baik tentang seksualitas dan hak-hak mereka, remaja akan lebih siap menghadapi tantangan yang datang dalam kehidupan mereka.
Oleh karena itu, edukasi seks yang komprehensif, berbasis pada nilai-nilai lokal dan budaya yang sensitif, sangat diperlukan untuk mencegah dampak negatif yang ditimbulkan oleh ketidaktahuan dan kurangnya perhatian terhadap isu-isu ini.
Situasi ini menuntut adanya kolaborasi antara sekolah, orang tua, pemerintah, dan lembaga masyarakat untuk menyebarkan pengetahuan dan menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi anak-anak dan remaja.
“Jika edukasi tentang seks dan hubungan yang sehat diterapkan secara tepat, bukan tidak mungkin angka pernikahan dini dan pelecehan seksual dapat ditekan, sehingga generasi muda Kalsel dapat tumbuh dan berkembang dengan lebih baik dan terhindar dari masalah sosial yang merugikan,” tutup Noor Zaidah.



