REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Peringatan Hari Buruh Internasional, yang jatuh setiap tanggal 1 Mei, biasanya dipenuhi dengan aksi unjuk rasa dan orasi di jalanan. Namun tahun ini, di Samarinda, semangat memperjuangkan nasib buruh justru menggema dari ruang sidang legislatif.
Salah satu suara paling lantang datang dari Darlis Pattalongi, Sekretaris Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, yang menegaskan, perjuangan buruh tidak boleh hanya berhenti pada simbolisme tahunan semata.
Dalam keterangannya kepada awak media usai rapat kerja di Gedung DPRD Kaltim, Darlis, yang juga merupakan politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN), menyoroti secara tajam kondisi kesejahteraan buruh di Kalimantan Timur.
Ia mengungkapkan meski Kaltim dikenal sebagai daerah dengan kekayaan sumber daya alam, kondisi para pekerjanya, terutama di sektor informal dan non-migas, masih jauh dari kata sejahtera.
“Kesejahteraan buruh kita saat ini masih berada di bawah standar yang layak. Padahal mereka adalah tulang punggung produktivitas daerah,” ucap Darlis dengan nada prihatin namun tegas.
Alih-alih melontarkan seruan populis atau menuntut kenaikan upah secara sepihak, Darlis justru mengusulkan pendekatan yang lebih realistis dan sistemik.
Menurutnya, solusi untuk meningkatkan pendapatan buruh harus datang melalui komunikasi intensif dan konstruktif antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja.
Ia mendorong adanya strategi bertahap dalam meningkatkan komponen pendapatan buruh, yang dibarengi dengan upaya konkret pemerintah dalam memangkas biaya-biaya produksi pengusaha yang selama ini membebani.
“Kalau kita bisa menghapuskan biaya-biaya yang tidak perlu seperti birokrasi panjang, perizinan yang berbelit, hingga pungutan-pungutan tambahan, maka pengusaha akan memiliki ruang fiskal lebih. Dan ruang itu seharusnya bisa digunakan untuk menyejahterakan buruh,” jelasnya.
Konsep yang diusung Darlis adalah kompensasi struktural. Intinya adalah menciptakan keseimbangan antara pengurangan beban biaya bagi pengusaha dengan peningkatan kesejahteraan bagi pekerja.
Pemerintah, melalui perannya sebagai regulator dan fasilitator, harus bisa memberi insentif kepada dunia usaha. Namun insentif tersebut bukan diberikan secara cuma-cuma, melainkan disertai dengan tanggung jawab moral dan sosial untuk membalasnya melalui perbaikan kondisi buruh.
“Jadi misalnya, jika izin usaha dipermudah dan pajak-pajak kecil bisa dikurangi, maka di sisi lain, perusahaan wajib menaikkan gaji atau memberikan fasilitas kerja yang lebih layak kepada buruh. Harus ada keseimbangan,” terang Darlis.
Ia menyebut pendekatan ini sebagai bentuk keberanian politik. Pemerintah tidak hanya menuntut dari satu sisi, melainkan hadir dengan tawaran solusi yang adil dan mengikat bagi semua pihak.
Ini penting, kata Darlis, agar tidak ada pihak yang merasa dikorbankan dalam proses perbaikan sistem ketenagakerjaan.
Lebih lanjut, Darlis menilai bahwa persoalan buruh tidak bisa dipandang sebagai konflik dua pihak—buruh versus pengusaha—melainkan sebagai bagian dari ekosistem ekonomi yang harus dikelola secara bijak.
Ia menyayangkan masih banyak kebijakan ketenagakerjaan yang dibuat secara sektoral tanpa memperhitungkan dampaknya secara menyeluruh.
“Kesejahteraan buruh bukan hanya soal besaran upah. Tapi juga soal jaminan kerja, lingkungan kerja yang sehat, hingga kepastian hukum atas hak-hak mereka. Dan semua itu membutuhkan ekosistem yang kuat, bukan kebijakan tambal sulam,” ungkapnya.
Ia mengajak semua pemangku kepentingan, baik di level daerah maupun nasional, untuk duduk bersama dan menyusun peta jalan yang berorientasi pada keberlanjutan kesejahteraan buruh, tanpa mengorbankan daya saing dunia usaha.
Dalam pernyataannya, Darlis tidak hanya menampilkan kepedulian terhadap nasib buruh, tetapi juga menghadirkan harapan.
Artinya, perjuangan buruh tak lagi harus berhadapan dengan jalan buntu, tetapi bisa menemukan jalannya melalui sinergi politik, ekonomi, dan sosial.
“Hari Buruh ini harus menjadi momen refleksi bersama. Sudah saatnya kita bicara solusi, bukan hanya seruan. Mari kita bangun sistem yang berpihak pada keadilan dan kelayakan hidup,” pungkas Darlis menutup keterangannya.
Di tengah gegap gempita peringatan Hari Buruh, suara dari gedung legislatif ini menjadi angin segar.
Bukan dalam bentuk janji kosong, tetapi tawaran konkret untuk mengubah arah kebijakan ketenagakerjaan ke arah yang lebih adil dan berimbang—untuk buruh, pengusaha, dan daerah.

