REDAKSI8.COM, SAMARINDA — Curah hujan tinggi yang mengguyur wilayah Kalimantan Timur dalam beberapa hari terakhir memicu bencana banjir di sejumlah kawasan, dengan dampak paling signifikan dirasakan di Kecamatan Loa Janan Ilir, Kota Samarinda. Puluhan rumah warga terendam air, dan salah satu jalur transportasi utama, Jalan HM Rifadin, lumpuh total akibat genangan air yang tak kunjung surut.

Kondisi ini memunculkan kekhawatiran dan sorotan dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan legislatif daerah. Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Timur, Darlis Pattalongi, angkat suara dan menegaskan bahwa peristiwa banjir yang terjadi kali ini tidak bisa dipandang sebagai bencana rutin yang datang karena faktor cuaca semata. Menurutnya, banjir tersebut merupakan manifestasi dari persoalan struktural yang lebih dalam dan kompleks, yang memerlukan solusi jangka panjang, sistematis, dan lintas sektor.
“Banjir di Samarinda, khususnya di Loa Janan Ilir, menunjukkan bahwa kita sedang menghadapi krisis tata kelola lingkungan. Genangan air tidak hanya mengganggu aktivitas warga, tetapi juga melumpuhkan akses vital seperti Jalan HM Rifadin yang merupakan jalur utama penghubung. Bahkan hingga kini, jalan itu masih belum bisa dilalui dengan normal,” ujar Darlis.
Ia juga menyoroti kondisi masyarakat terdampak yang hingga kini masih bergantung pada bantuan melalui dapur umum dan posko darurat. Ini menjadi indikasi bahwa sistem tanggap darurat dan infrastruktur dasar belum mampu mengantisipasi skala bencana yang terjadi.
Lebih jauh, Darlis menyampaikan analisisnya bahwa penyebab utama banjir tidak hanya datang dari curah hujan yang tinggi. Ia menegaskan bahwa buruknya sistem drainase di Samarinda dan masifnya aktivitas tambang di wilayah hulu turut memperparah akumulasi air yang mengalir ke wilayah hilir. Samarinda, yang berada di dataran rendah dan merupakan titik akhir dari aliran sungai-sungai kecil di sekitarnya, menjadi kawasan paling rentan jika tidak ada upaya komprehensif untuk membenahi sistem tata kelola air.
“Masalah ini tidak bisa lagi diselesaikan hanya dengan menyalahkan cuaca ekstrem. Kita harus berani melihat fakta bahwa banyak aktivitas tambang di daerah hulu yang mengubah kontur tanah dan mempercepat aliran air ke hilir. Debit air meningkat drastis sementara sistem drainase kita masih sama seperti puluhan tahun lalu. Ini ketimpangan yang harus diselesaikan secara sistemik,” tegasnya.
Darlis juga memberikan catatan kritis terhadap pola penanganan bencana oleh pemerintah, baik di tingkat kota maupun provinsi, yang menurutnya masih bersifat reaktif dan minim perencanaan jangka panjang. Ia menyerukan agar Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur segera merumuskan strategi penanggulangan banjir yang menyeluruh, tidak hanya di Samarinda, tetapi juga pada wilayah hulu yang menjadi sumber aliran air.
Strategi tersebut, lanjutnya, harus mencakup evaluasi terhadap perizinan aktivitas tambang, penguatan sistem drainase perkotaan, pembangunan infrastruktur pengendali banjir seperti waduk penahan atau kolam retensi, serta penanaman kembali kawasan-kawasan yang rusak akibat eksploitasi sumber daya alam.
“Kita butuh langkah luar biasa untuk menghadapi kondisi luar biasa ini. Samarinda adalah ibu kota provinsi, jantung aktivitas ekonomi dan pemerintahan. Tidak seharusnya setiap kali hujan deras turun, kota ini langsung lumpuh dan masyarakat menderita. Sudah saatnya kita melihat bencana ini sebagai tanda bahwa ada sesuatu yang keliru dalam perencanaan pembangunan kita,” tambahnya.
Ia juga menegaskan komitmen DPRD Provinsi Kaltim, khususnya dari Komisi yang membidangi urusan lingkungan dan infrastruktur, untuk terus mengawal kebijakan penanggulangan banjir. Pihaknya akan mendorong pembahasan lebih lanjut bersama Pemerintah Provinsi, dinas teknis terkait, serta melibatkan akademisi dan komunitas lingkungan untuk mencari solusi berbasis data dan keadilan ekologis.
Dengan semakin seringnya bencana banjir melanda Samarinda dan kawasan sekitarnya, Darlis berharap ada perubahan paradigma dalam tata kelola lingkungan di Kalimantan Timur. Ia menutup pernyataannya dengan menyerukan kolaborasi lintas sektor dan keberanian dalam mengevaluasi sektor-sektor industri ekstraktif yang selama ini dianggap memberi kontribusi ekonomi, namun berdampak besar pada kerusakan ekosistem dan keselamatan warga.