REDAKSI8.COM, SAMARINDA — Ketegangan antara warga Desa Telemow, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, dan perusahaan pemegang Hak Guna Bangunan (HGB), PT ITCI Kartika Utama, kembali memuncak. Sebanyak 10 Kepala Keluarga (KK) dilaporkan menjadi korban penggusuran lahan secara sepihak oleh perusahaan (07/05), bertepatan dengan hari sidang pidana terhadap empat warga Telemow yang tengah dikriminalisasi.

Tindakan ini menuai protes keras dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda. Dalam konferensi pers yang digelar pada Jumat (16/05) di Kantor LBH Samarinda, Direktur Fathul Huda menyebut langkah PT ITCI KU sebagai bentuk pengabaian terhadap prinsip-prinsip keadilan.

“Penggusuran ini sangat tidak etis. Fakta persidangan menunjukkan penerbitan SHGB PT ITCI KU terjadi dalam proses yang tidak transparan, bahkan cenderung ilegal,” ujar Fathul.
Menurutnya, terdapat banyak kejanggalan dalam dokumen kepemilikan HGB milik perusahaan tersebut. Salah satunya, PT ITCI KU tidak pernah menunjukkan dokumen SHGB secara lengkap dalam sidang. Bahkan masa perpanjangan pada tahun 2017 pun dilakukan di luar ketentuan hukum yang berlaku, yakni tidak tepat waktu.
Fathul menambahkan bahwa SHGB yang dimiliki perusahaan sejak era 1993/1994 seharusnya telah kadaluarsa jika mengacu pada ketentuan administrasi. Ia juga mempertanyakan keabsahan status HGB seluas lebih dari 80 hektare, yang menurutnya tidak wajar dan seharusnya diklasifikasikan sebagai hak milik.
“Sebagai gambaran, warga telah mengelola lahan tersebut jauh sebelum PT ITCI KU hadir di wilayah ini, bahkan sejak akhir 1990-an. Tanah itu bukan kosong, tapi sumber penghidupan,” katanya.
Sengketa yang berkepanjangan ini telah berdampak besar bagi warga Telemow. Kebun karet, ladang sayur, dan tanaman produktif lainnya terancam hilang karena penggusuran. Warga pun merasa hak atas tanahnya dirampas secara semena-mena.
Tak hanya itu, warga juga menghadapi kriminalisasi. Beberapa dari mereka bahkan harus menjalani proses persidangan berkepanjangan, dengan jadwal sidang dua kali sepekan sejak Maret 2025. LBH Samarinda menyayangkan sikap majelis hakim yang dinilai mempersempit ruang pembelaan, bahkan terkesan menekan saksi-saksi dan terdakwa.
“Kalau ada kekhawatiran terdakwa bebas demi hukum, itu bukan alasan untuk mengabaikan keadilan. Ketakutan semacam itu justru menunjukkan adanya tekanan kekuasaan,” kritik Fathul.
LBH Samarinda menegaskan bahwa perjuangan warga Telemow untuk mempertahankan tanah mereka harus dihormati. Mereka berharap proses hukum berjalan adil tanpa intimidasi, serta menyerukan agar negara hadir melindungi rakyat yang haknya terancam.