REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Jumat pagi (09/05), barikade jalan berwarna oranye dibentangkan di simpang Jalan Yos Sudarso, Kecamatan Karang Mumus, Kelurahan Samarinda Kota.

Sejumlah ruas jalan ditutup sementara. Beberapa personel diturunkan untuk menghadang dan mengatur arah lalu lintas yang mulai simpang siur.

Sebagian pengendara memilih memutar balik sebelum mencapai simpangan.
Sementara yang lain mencari jalan pintas, mengikuti arahan petugas Satlantas Samarinda.
Di sisi lain barikade, ratusan orang mulai berkumpul. Bukan hanya para pedagang, tapi juga masyarakat sekitar dan mahasiswa yang menyuarakan penolakan terhadap relokasi Pasar Subuh.
Mereka berdiri berjejer membentuk pagar manusia. Tangis dan teriakan menggema, menggantikan riuh pasar yang biasanya menjadi denyut pagi di kawasan itu.
Tidak terdengar lagi suara riuh tawar-menawar, tidak ada lagi wangi rempah yang menguar.
Ratusan massa ini menolak relokasi dan memilih bertahan, meski ratusan aparat yang jumlahnya lebih banyak datang untuk membubarkan secara paksa.
Puluhan kios diratakan. Di tengah situasi yang mencekam, massa berdiri gagah menghadang barisan aparat.
Tanpa senjata, hanya tangan kosong dan nyali yang tak surut.
Pasar ini bukan sekadar tempat berdagang, tapi ruang hidup yang telah menghidupi mereka selama puluhan tahun.
Diantara kios-kios kecil dan terpal yang mulai lusuh, terpatri sejarah, ikatan sosial, dan warisan antar generasi.
“Memang tahu apa mereka tentang sejarah?!,” seru salah satu orator mahasiswa, lantang menantang narasi penggusuran yang dingin dan tanpa empati.
“Ini bukan cuma soal jualan, ini tentang hidup kami, tentang warisan dari orang tua kami,” kata Farida (50), perempuan paruh baya yang matanya tampak sembab setelah menyaksikan aparat merobohkan kios-kios kecil di pasar itu.
Lebih dari wadah transaksi ekonomi, pasar subuh menjadi ruang yang mewarisi ikatan sosial dan sejarah panjang sejak tahun 1970-an.
Farida adalah generasi kedua dari pedagang yang telah lama menempati area ini.
“Dulu Bapak saya mulai jualan sekitar 1978, meneruskan dari yang sudah ada sejak 1960-an di sekitar Jembatan 1. Saya cuma nerusin. Ini usaha turun-temurun, Mas,” jawabnya kepada salah satu wartawan laki-laki yang ikut muram.
Farida bukan satu-satunya yang berdiri di barisan depan aksi penolakan relokasi pasar.
Ibu-ibu, anak muda, hingga para lansia berkumpul, satu suara.
Mereka bukan pedagang kaki lima yang tiba-tiba menduduki tanah pemerintah, melainkan pedagang resmi yang membayar retribusi dan menyimpan surat pengakuan dari kelurahan sejak 2009, saat tempat itu mulai ditata ulang.
“Kami dulu ditata oleh pihak kelurahan, disuruh pakai taplak meja Kalimantan, dikasih kartu dan didata. Artinya kami diakui,” tutur Yeni (40), pedagang lain yang ikut dalam pertahankan Pasar Subuh.
Penolakan warga terhadap relokasi pasar bukan soal legalitas semata, tapi juga kekhawatiran akan hilangnya keunikan yang lama ada.
Pasar ini dikenal bukan karena fasilitasnya, melainkan karena nilai kepercayaan yang tumbuh dari waktu ke waktu.
“Orang tahu, kalau cari bahan Imlek, hampers, atau makanan khas, ya ke sini. Mereka nggak mikir harga. Yang penting kualitas dan sejarahnya,” ungkap Yeni.
Hubungan antara penjual dan pembeli di pasar ini bukan sebatas transaksi. Mereka saling mengenal, bahkan tahu nama dan cerita keluarga satu sama lain.
“Kayak paman tinggi, itu julukan buat Bapak saya. Dari dulu orang tahunya belanja ke situ. Turun-temurun. Ada yang dari anak sampai cucu tetap belanja di lapak yang sama,” sambung Farida.
Namun kini, semua itu seakan akan dihapus begitu saja. Tanpa dialog, tanpa ruang musyawarah.
Dengan dalih “penataan”, pemerintah setempat mendorong relokasi yang dinilai tidak mempertimbangkan aspek sosial dan budaya pasar.
“Kalau dipindah, nggak akan sama lagi. Nggak ada keunikannya. Orang udah tahunya pasar itu ya di sini,” ucap Farida lirih.
Pasar Subuh memang tidak tampak besar dalam peta pembangunan kota. Namun, bagi pedagang dan warga yang bergantung padanya, pasar ini penting untuk ekonomi mereka.
Di sinilah mereka mencari nafkah dan mempertahankan hidup. Walaupun pasar ini bukan tempat yang megah atau strategis, bagi mereka, pasar ini memiliki peran besar dalam kehidupan sehari-hari dan martabat ekonomi mereka.
Hari itu, bukan hanya kios-kios yang rubuh. Tapi juga harapan banyak keluarga yang selama ini mengandalkan pasar sebagai tempat penghidupan.
Tanah yang mungkin tak pernah benar-benar mereka miliki, namun mereka rawat dengan sepenuh hati, kini diratakan begitu saja.
Semua yang mereka bangun selama puluhan tahun, yang menghidupi mereka dan generasi sebelumnya, tiba-tiba lenyap dalam sekejap.
Kehilangan itu bukan hanya berupa barang atau tempat berjualan, melainkan juga identitas, perjuangan, dan warisan yang kini harus mereka relakan.