REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Perjalanan hidup Abdul Giaz, yang akrab disapa Adul, memasuki fase baru yang tidak kalah menarik dari konten-konten kritis yang selama ini ia unggah.
Resmi dilantik sebagai Anggota Komisi II DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW) menggantikan Saefudin Zuhri, Adul kini berada di jantung pengambilan kebijakan daerah.
Namun, satu hal yang tidak berubah: semangat kritis dan gaya vokalnya tetap menyala.
“Harus dan wajib, saya akan terus aktif menyampaikan aspirasi melalui media sosial,” ujar Adul, menegaskan bahwa identitasnya sebagai konten kreator tetap akan melekat.
Sebelum menapaki dunia politik, Adul dikenal luas sebagai konten kreator yang vokal mengkritisi berbagai persoalan publik. Kanal media sosialnya ramai dengan unggahan soal kondisi jalan rusak, pelayanan publik yang lambat, hingga kebijakan pemerintah yang dianggap menyimpang dari kepentingan rakyat.
Gaya komunikasinya yang blak-blakan dan tanpa basa-basi menjadikan dia sorotan, baik dari kalangan masyarakat maupun pejabat yang merasa terusik.
Meski sering mendapat reaksi keras, Adul tak goyah. Justru dari keberaniannya itu, basis dukungan publiknya menguat, hingga akhirnya membawanya ke kursi DPRD.
“Saya tetap berpegang pada prinsip untuk menyuarakan yang benar. Tugas saya adalah untuk memberi suara pada masyarakat yang merasa tidak didengar,” tegasnya.
Bagi Adul, media sosial adalah senjata rakyat, alat untuk menembus sekat birokrasi dan menyuarakan suara dari jalanan hingga ke ruang sidang.
Ia menyadari, di era digital ini, banyak permasalahan tidak sampai ke meja pengambilan keputusan karena tidak terangkat di permukaan. Di situlah ia menempatkan dirinya—sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah.
“Saya tidak akan berhenti membuat konten. Media sosial adalah ruang demokrasi yang perlu terus dijaga,” katanya.
Meski kini menyandang status sebagai anggota legislatif, Adul memilih merendah dan misterius saat ditanya soal program-program atau langkah konkret ke depan.
Ia hanya menyebut bahwa banyak rencana sudah tertata di pikirannya, namun belum waktunya diungkap.
“Ada banyak di kepala saya, tapi lihat saja nanti ke depan. Bismillah,” ujarnya sambil tersenyum.
Namun satu yang pasti, ia berkomitmen untuk tidak menjadi politisi yang duduk diam, tetapi aktif terjun ke masyarakat, mendengar keluhan, dan mencari solusi.
“Saya akan terus menjadi jembatan antara masyarakat dan pemerintah. Ini adalah tanggung jawab yang harus saya jalani,” tutup Adul, mengakhiri pernyataannya dengan nada penuh tekad.
Kisah Adul menandai sebuah babak baru dalam perpolitikan daerah—kemunculan legislator dari akar rumput digital, yang menjadikan kritik sebagai panggilan, bukan sekadar sensasi. Dengan kehadirannya di DPRD, masyarakat Kaltim punya harapan baru: wakil rakyat yang benar-benar berbicara untuk rakyat.

