REDAKSI8.COM, KALTIM – Revisi Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali menjadi sorotan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Studi dan Kajian Hukum Pidana (PASKAS) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman pada Rabu (16/04) lalu.

Kegiatan tersebut menghadirkan beragam pandangan dari kalangan akademisi dan mahasiswa, yang menyoroti pentingnya harmonisasi antara Rancangan KUHAP (RUHAP) dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional yang telah disahkan.
Mahasiswa Fakultas Hukum, Imelda Palimbunga (21), menyampaikan, perubahan KUHAP merupakan keniscayaan seiring perkembangan zaman.
Ia menekankan revisi ini harus mengarah pada keadilan substantif, bukan semata-mata pada aspek prosedural.
“RUHAP dirancang untuk menghadirkan sistem hukum yang lebih adil dan manusiawi. Salah satu poin penting adalah pengaturan tentang putusan pemaaf, yakni hakim dapat menyatakan terdakwa bersalah namun dimaafkan karena alasan tertentu seperti ketidaksengajaan,” ujar Imelda.
Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya kritik terhadap rumusan pasal dalam revisi ini.
Harmonisasi antara KUHP dan KUHAP menjadi kunci agar keduanya berjalan selaras dan tidak tumpang tindih dalam implementasinya di lapangan.
Senada dengan Imelda, akademisi Fakultas Hukum Unmul, Ivan Zairani, menegaskan bahwa revisi KUHAP tidak bisa hanya fokus pada aspek teknis penegakan hukum.
Menurutnya, paradigma penegakan hukum harus diubah, dari yang semula kolonialistik menjadi lebih berpihak kepada rakyat sesuai prinsip KUHP nasional yang baru.
“Jangan sampai kita bicara modernisasi dan nasionalisasi, tetapi masih memakai cara pikir kolonial. KUHAP harus mengikuti pedoman baru dalam KUHP yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keadilan substantif,” jelas Ivan.
Ia menyoroti pentingnya membangun sistem yang integratif antara penyidikan, penuntutan, hingga pengadilan.
Menurutnya, selama ini masih terjadi tumpang tindih antar lembaga penegak hukum yang menyebabkan mandeknya proses keadilan.
“Seringkali kasus tidak ditindaklanjuti kecuali viral. ini yang disebut ‘no viral, no justice’. Padahal keadilan tidak boleh bergantung pada eksposur publik semata,” tandasnya.