Ketua AJI Samarinda, Yuda Almerio, menilai aturan tersebut sebagai bentuk pembatasan terselubung yang tidak sejalan dengan semangat Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Terutama, ia menyoroti kewajiban bagi jurnalis asing untuk mengantongi surat keterangan dari kepolisian sebelum melakukan peliputan di Indonesia.
“Prosedur semacam ini berpotensi menghambat kerja jurnalistik, terutama dalam isu-isu yang menuntut peliputan cepat seperti konflik sosial, bencana alam, atau dugaan pelanggaran HAM,” ujar Yuda saat diwawancarai pada Kamis (4/4/2025).
Menurut AJI, regulasi ini tidak hanya menyulitkan secara administratif, tetapi juga berpotensi membuka ruang diskriminasi terhadap liputan yang dianggap sensitif, seperti eksploitasi sumber daya alam, konflik agraria, atau kekerasan aparat. Yuda menegaskan, kehadiran aturan ini bisa memunculkan efek gentar (chilling effect) bagi jurnalis maupun narasumber lokal yang bekerja sama dengan mereka.
“Bayangkan jika narasumber jadi takut berbicara karena takut dimata-matai atau dipanggil aparat, ini jelas ancaman serius bagi jurnalisme investigatif,” tegasnya.
Yuda juga mewanti-wanti dampak jangka panjangnya. Bila jurnalis asing saja dibatasi melalui regulasi semacam ini, bukan tidak mungkin perlakuan serupa akan merambah ke jurnalis dalam negeri.
“Ini bisa jadi preseden buruk. Negara perlahan-lahan membangun pagar penghalang terhadap informasi yang semestinya bisa diakses publik,” tambahnya.
Sebagai bentuk sikap tegas, AJI Samarinda mendesak agar Perpol tersebut segera dikaji ulang secara menyeluruh. Bila terbukti membungkam kebebasan pers, AJI menuntut pencabutannya. Selain itu, AJI juga menyerukan pembentukan mekanisme pengawasan terhadap regulasi yang berpotensi membatasi hak publik atas informasi.
“Pers adalah pilar demokrasi. Jangan sampai diseret dalam logika kontrol dan pembungkaman,” pungkas Yuda.