REDAKSI8.COM, BANJAR – Setiap 28 Oktober, bangsa Indonesia kembali menatap cermin sejarah dan melihat satu peristiwa monumental: Sumpah Pemuda 1928. Tiga ikrar suci yang diucapkan kala itu bukan sekadar simbol persatuan, tetapi manifestasi dari kesadaran intelektual, bahwa bangsa ini harus menolak segala bentuk penjajahan, baik fisik maupun mental. Semangatnya bukan hanya mengusir kolonialisme, tetapi juga membebaskan pikiran dari belenggu ketakutan dan inferioritas.
Kini, hampir satu abad berlalu, semangat itu dihadapkan pada wajah baru penjajahan: globalisasi digital. Kolonialisme hari ini tidak datang dengan kapal perang, melainkan dengan algoritma, budaya populer global, dan arus informasi tanpa batas yang perlahan mengikis nilai-nilai lokal. medan juang pemuda pun bergeser dari parit-parit peperangan ke layar gawai dan ruang maya tempat identitas bangsa dipertaruhkan.
Pemuda hidup di zaman serba cepat, di mana budaya diukur dari trending topic dan kebenaran sering kalah oleh viralitas. Tantangan mereka bukan sekadar beradaptasi dengan teknologi, tetapi menjaga akar budaya di tengah pusaran modernitas.
Bung Karno pernah berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya.” Namun hari ini, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menafsirkan ulang sejarahnya agar tetap bermakna di masa kini.
Sayangnya, derasnya arus global sering membuat generasi muda kehilangan arah. Mereka fasih berbahasa digital, tapi kerap gagap membaca makna budayanya sendiri. Sosiolog Anthony Giddens menyebut fenomena ini sebagai disembedding terlepasnya manusia dari konteks tradisi akibat modernisasi. Ketika anak muda terlalu larut dalam budaya global yang seragam, warna keindonesiaan perlahan memudar.


Di Kalimantan Selatan, misalnya, tradisi seperti Mamanda, Madihin, dan musik Panting mulai jarang terdengar di panggung generasi muda. Padahal, di dalamnya tersimpan nilai moral, spiritual, dan sosial yang tinggi warisan yang seharusnya menjadi kompas moral di tengah budaya instan yang serba pragmatis.
Seorang budayawan Banjar pernah berpesan, “Jika kesenian kita berhenti dimainkan, maka ingatan kolektif kita ikut mati.”
Pelestarian budaya bukanlah nostalgia masa lalu, melainkan strategi eksistensial untuk memastikan masa depan bangsa tetap berkarakter.
Oleh karena itu, Sumpah Pemuda tidak boleh berhenti sebagai ritual tahunan. Ia harus menjadi gerakan kultural yang hidup, menuntun generasi muda meneguhkan sumpahnya dalam bentuk baru:
– Menjadikan teknologi sebagai alat pelestarian, bukan penghancur identitas.
– Literasi digital harus berjalan seiring dengan literasi budaya. Dunia maya bisa menjadi ruang subur bagi kebudayaan lokal untuk tumbuh dan dikenal dunia asal dikelola dengan kesadaran dan tanggung jawab.
Sosiolog Manuel Castells menyebut zaman kita sebagai network society, masyarakat jejaring yang terhubung lewat teknologi. Namun hanya mereka yang memiliki modal budaya (cultural capital) yang akan bertahan dan mampu memengaruhi arah peradaban.
Teknologi tanpa jati diri ibarat kapal tanpa kompas.
Pemuda Indonesia harus menjadi navigator yang bijak, bukan sekadar penumpang di arus globalisasi.
Di tanah Banua, falsafah “Baiman, Bauntung, Batuah” bukan sekadar semboyan, melainkan panduan hidup yang menekankan keberkahan, kebaikan, dan kemanfaatan. Nilai-nilai inilah yang seharusnya menjadi etika digital dan moral sosial generasi muda Banjar dan Nusantara. Sebab kemajuan sejati bukan tentang seberapa cepat kita meniru dunia, tetapi seberapa arif kita menata arah sendiri.
Sumpah Pemuda hari ini menuntut reinterpretasi.
Jika pada 1928 para pemuda bersatu karena kesamaan nasib, maka kini mereka harus bersatu karena kesamaan visi: menjaga martabat bangsa di tengah derasnya arus global.
Persatuan hari ini tidak hanya berarti satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, tetapi juga satu tekad untuk menjadi diri sendiri di tengah dunia yang kian seragam.
Cendekiawan Nurcholish Madjid pernah mengingatkan, “Modernisasi bukanlah westernisasi, melainkan rasionalisasi.”
Artinya, menjadi modern bukan menanggalkan budaya, tetapi memodernkan nilai-nilai luhur agar tetap hidup dan relevan.
Inilah wujud baru dari Sumpah Pemuda masa kini, sumpah untuk tidak tercerabut dari akar, sumpah untuk berpikir kritis di tengah banjir informasi, dan sumpah untuk menjadikan teknologi sebagai jalan peradaban, bukan jurang kealpaan.
Sumpah Pemuda bukan sekadar teks yang dibacakan setiap Oktober. Ia adalah napas perjuangan yang harus dihidupkan setiap hari.
Sebab bangsa ini akan bertahan bukan karena kekuatan senjata atau ekonomi, melainkan karena keteguhan identitas dan karakter generasinya.
Dan di pundak para pemudalah, masa depan itu dititipkan.
Tulisan ini saya persembahkan untuk seluruh pemuda-pemudi Indonesia yang di dadanya masih menyala semangat juang menuju Indonesia Emas 2045. Selamat Hari Sumpah Pemuda!





