REDAKSI8.COM, BANJARBARU – Usai memberikan rekomendasi kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) untuk melakukan penelaahan hukum terkait laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Calon Wali Kota Banjarbaru, Aditya Mufti Arifin di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Pasalnya, Aditya dilaporkan rivalnya Wartono dengan enam laporan, diantaranya berkenaan jargon ‘Juara’, program bedah rumah, RT Mandiri, angkutan feeder, hingga program bantuan sosial anak di bawah Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (YLKA).
Dari enam laporan tersebut, empat laporan ditolak dan dua laporan diterima oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kalsel.
Kemudian, dua laporan yang diterima itu terkait dengan program Angkutan Juara dan pembagian sembako Bakul Juara.
Disamping itu, Bawaslu Kalsel pun telah merekomendasikan perkara dengan nomor register 01/REG/LP/PW/Prov/22.00/X2024 sebagai Pelanggaran administrasi Kepada KPU Kalsel untuk dapat ditindaklanjuti sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 139 ayat (1) dan ayat (2).
Menanggapi hal tersebut, Akademisi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) sekaligus Pakar Hukum Pilkada, Muhammad Erfa Redhani menyampaikan, pandangannya mengenai sengketa dugaan pelanggaran administrasi pemilihan ini.
Bahwa pasal 71 yang disangkakan kepada petahana, Aditya Mufti Ariffin, dimana dalam tatanan normatif Undang-Undang (UU) Pilkada telah mengatur secara ketat agar petahana tidak boleh menyalahgunakan kewenangan program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon lainnya.
“Larangan ini bagus digunakan agar tidak ada politisasi dalam kegiatan ataupun program-program dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,” ujarnya, Jumat (1/11/24).
Meski demikian, pasal tersebut katanya dirasa cukup problematik karena seorang petahana yang dianggap melanggar dan direkomendasikan oleh Bawaslu untuk mendapatkan sanksi pembatalan itu.
Sehingga, menurutnya pasal 71 ini harus dilakukan pengkajian ulang oleh pembentuk Undang-undang.
“UU Pilkada tidak memberikan ruang mekanisme komplain atau banding terhadap sanksi tersebut,” katanya.
“Sementara, kalau kita melihat pengaturan yang lain misalnya sanksi pembatalan karena adanya pelanggaran terhadap Pasal 73 ayat (2) (larangan menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih) yaitu pelanggaran administrasi yang Terstruktur Sistematis dan Masif (TSM), UU pilkada mengatur rinci mekanisme komplain berupa upaya hukum ke MA. Putusan MA lah yang kemudian bersifat final dan mengikat,” jelasnya.
Maka, keputusan tindak-lanjut (misalnya keputusan KPU) dapat saja diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai peradilan administrasi.
“Yang jadi objeknya nanti itu adalah keputusan KPU,” ucapnya.
Menurut Erfa, ketika ada keputusan DKPP yang kemudian ditiriskan dengan SK KPU/SK Bawaslu/SK Presiden, maka SK tersebut dapat diuji di PTUN.
Tetapi dengan mekanisme melalui PTUN ini akan membutuhkan waktu yang lama dalam prosesnya, sudah lewat tahapan pemungutan suara.
“Memang tidak diatur di UU Pilkada, tapi hal tersebut memungkinkan saja,” katanya.
Selain itu, katanya petahana juga bisa melakukan upaya hukum atas SK KPU pembatalan tersebut menggunakan mekanisme upaya hukum ke MA berdasarkan Pasal 14 UU Pilkada. Yang berbunyi “Mahkamah Agung berwenang menerima, memeriksa, mengadili dan memutus sengketa pelanggaran administrasi pemilihan”.
“Meskipun pasal ini sebenarnya untuk pelanggaran TSM, namun bisa saja digunakan. Karena sanksinya sama, pembatalan,” tandasnya.
Sebagai informasi, saat ini dikabarkan KPU Banjarbaru telah menetapkan pembatalan pencalonan terhadap Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banjarbaru nomor urut 2, Aditya-Said Abdullah.