REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Ratusan perwakilan Masyarakat Adat dari seluruh nusantara berkumpul di Desa Kedang Ipil, wilayah adat Kutai Adat Lawas Sumping Layang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Hal tersebut dalam rangka menghadiri Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) VIII Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Mengangkat tema Perkuat Resiliensi Masyarakat Adat di Tengah Gempuran Pembangunan yang Merusak, forum ini menjadi ajang konsolidasi kekuatan dan strategi menghadapi ancaman terhadap eksistensi Masyarakat Adat.
RAKERNAS AMAN VIII dibuka secara meriah dengan pawai budaya yang melibatkan ratusan peserta berpakaian adat.
Selain menandai dimulainya rangkaian kegiatan, pawai ini juga memperingati Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara 2025 sekaligus perayaan 26 tahun berdirinya AMAN.
Di tengah maraknya pembangunan yang mengancam, pawai budaya menjadi simbol perlawanan serta keteguhan Masyarakat Adat dalam menjaga identitas dan warisan leluhur.
Ketua Panitia Pelaksana, Yoga Saeful Rizal, menegaskan bahwa pemilihan Desa Kedang Ipil sebagai lokasi RAKERNAS bukan semata-mata keputusan teknis, melainkan juga politis.
“Wilayah ini berada di garis depan ancaman ekspansi sawit dan proyek Ibu Kota Nusantara. Seluruh kekuatan AMAN berkumpul di sini untuk memperkuat solidaritas dan strategi perjuangan,” ujarnya.
Kepala Desa Kedang Ipil, Kuspawansyah, dalam sambutannya menepis stigma terhadap komunitasnya yang kerap dituduh sebagai pelaku pembakaran hutan.
“Padahal sejak nenek moyang, ladang kami tidak pernah menyebabkan kebakaran,” ungkapnya.
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, menyoroti kondisi nasional yang semakin represif terhadap komunitas adat.
Dalam kurun Januari–Maret 2025 saja, AMAN mencatat 110 kasus pelanggaran terhadap hak-hak Masyarakat Adat.
Sepanjang tahun 2024, sebanyak 121 kasus kriminalisasi dan perampasan wilayah adat seluas lebih dari 2,8 juta hektare menimpa 140 komunitas.
Rukka mencontohkan situasi di Kalimantan Timur yang makin memprihatinkan: dua warga Masyarakat Adat Muara Kate menjadi korban kekerasan saat memprotes aktivitas tambang milik PT Mantimin Coal Mining (MCM).
Salah satu korban meninggal dunia akibat luka sayat di leher. Di Sepaku, Suku Balik terusir oleh pembangunan IKN.
Di Paser, hutan mangrove milik Masyarakat Adat Rangan diuruk untuk kepentingan industri batubara.
Di Kedang Ipil sendiri, warga terus mempertahankan hutan adat dari ekspansi perkebunan sawit.
Rukka mengingatkan bahwa kebijakan terbaru pemerintah, seperti penetapan 77 Proyek Strategis Nasional (PSN) dan revisi UU TNI, hanya akan memperkuat watak militeristik dan memperparah perampasan wilayah adat.
“Aturan soal Masyarakat Adat tercecer di berbagai undang-undang, seperti tubuh yang diatur oleh kepala, tangan, dan kaki yang tidak terhubung,” tegasnya.
Ia juga menyoroti dampak kebijakan eksploitatif seperti UU Cipta Kerja, revisi UU Minerba, UU Konservasi, dan kebijakan nilai ekonomi karbon.
“Kami yang menjaga hutan, tapi orang lain yang menikmati keuntungannya,” ucapnya lantang.
Meski terus ditekan, Rukka menegaskan bahwa Masyarakat Adat tidak akan tinggal diam.
“Inilah makna resiliensi. Bangkit dari trauma dengan kesadaran politik, sejarah, dan spiritualitas,” tambahnya.
RAKERNAS AMAN VIII ini berlangsung selama tiga hari, 14–16 April 2025, dan dihadiri sekitar 500 peserta dari seluruh struktur organisasi AMAN.
Forum tersebut menjadi ruang refleksi, evaluasi, dan penyusunan strategi gerakan Masyarakat Adat di tengah tekanan pembangunan yang kian masif.