REDAKSI8.COM, BANJAR – Dalam momentum penutupan Peringatan Hari Santri Nasional 2025 di Alun-Alun Ratu Zalecha Martapura, KH. M. Naufal Rosyad, S.Ag, membacakan tuntutan resmi Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Banjar kepada pemerintah pusat.
Tuntutan tersebut menyoroti pentingnya pengakuan kesetaraan ijazah pondok pesantren dengan pendidikan formal, khususnya bagi santri lulusan pesantren salafiah yang telah menempuh pendidikan keagamaan secara sistematis dan berjenjang.
Dalam pernyataannya, KH. Naufal menegaskan bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang telah terbukti berperan besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk karakter generasi muda, serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sejak awal berdirinya republik ini, pesantren selalu berada di garda terdepan dalam melahirkan ulama, pendidik, sekaligus pejuang bangsa. Namun, realitas saat ini menunjukkan bahwa ijazah lulusan pesantren masih belum diakui secara setara dengan ijazah pendidikan formal.
Banyak lulusan pesantren yang terpaksa mengikuti jalur muadalah atau menempuh program kesetaraan Paket A, B, atau C, hanya agar bisa melanjutkan pendidikan tinggi atau mengikuti seleksi CPNS. Padahal, pendidikan di pesantren telah terbukti mendalam, terstruktur, dan berakar kuat pada tradisi keilmuan Islam Indonesia.
“Hal ini menimbulkan ketidakadilan struktural bagi santri dan membatasi kesempatan mereka untuk berkembang di dunia akademik maupun profesional,” ungkap KH. Naufal.
Dalam dokumen resmi yang dibacakan KH. Naufal, PCNU Banjar menyampaikan bahwa tuntutan ini memiliki landasan moral, historis, dan yuridis yang kuat.
Beberapa dasar hukum yang mendukung di antaranya:
1. UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) dan (3) yang menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan mengembangkan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan serta ketakwaan.
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mengakui pendidikan keagamaan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, yang menegaskan pesantren sebagai lembaga pendidikan resmi dengan fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, yang memperjelas peran pemerintah dalam pengakuan dan fasilitasi pendidikan keagamaan.
Berdasarkan pertimbangan di atas, PCNU Kabupaten Banjar menyampaikan lima tuntutan utama kepada Menteri Agama Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia, yakni:
1. Mengakui ijazah pesantren kajian Kitab Kuning yang dilaksanakan secara klasikal, terstruktur, dan berjenjang setara dengan ijazah pendidikan formal tanpa syarat tambahan atau ujian dari lembaga lain.
2. Segera membentuk dan memperkuat Direktorat Jenderal Pondok Pesantren (Dirjen Ponpes) di bawah Kementerian Agama RI agar memiliki kewenangan penuh dalam mengatur penyelenggaraan pendidikan pesantren di Indonesia.
3. Menyusun peraturan turunan dari UU Pesantren dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Agama (PMA) yang mengatur secara eksplisit:
– Pengakuan ijazah pesantren Kitab Kuning sebagai ijazah formal,
– Mekanisme penyetaraan internal antar-pondok,
– Integrasi sistem data pesantren ke dalam Sistem Pendidikan Nasional (Dapodik).
4. Melakukan harmonisasi antara UU Pesantren dan UU Sisdiknas agar tidak terjadi diskriminasi administratif terhadap lulusan pesantren dalam hal penerimaan mahasiswa, CPNS, maupun pengakuan akademik lainnya.
5. Memberikan afirmasi dan prioritas khusus bagi lulusan pesantren dalam penerimaan beasiswa, CPNS, dan program pendidikan tinggi keagamaan, sebagai bentuk penghargaan atas peran pesantren dalam mencetak sumber daya manusia yang berakhlak, berilmu, dan nasionalis.
Melalui tuntutan tersebut, PCNU Kabupaten Banjar menegaskan bahwa penyetaraan ijazah pesantren bukan hanya soal administratif, tetapi juga pengakuan terhadap jasa besar pesantren dalam membangun bangsa.
“Ini adalah bagian dari perjuangan moral kami, agar santri memperoleh hak yang sama sebagai warga negara dalam mengakses pendidikan dan lapangan kerja,” tegas KH. Naufal.
Pernyataan resmi tersebut ditutup dengan seruan penuh harapan agar pemerintah pusat segera mengambil langkah nyata, sehingga pesantren benar-benar diakui sebagai bagian utuh dari sistem pendidikan nasional.
Tuntutan ini ditandatangani di Martapura, 28 Oktober 2025 M / 06 Jumadil Awwal 1447 H oleh jajaran Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Banjar, terdiri dari:
– Rais: Dr. KH. Muhammad Husien, M.Ag
– Katib: KH. M. Naufal Rosyad, S.Ag
– Ketua: Ahmad Nuryadi, S.Ag
– Sekretaris: : dr. H. Diauddin HB., M.Kes
PCNU Banjar menutup pernyataannya dengan doa dan harapan agar perjuangan ini menjadi langkah bersejarah dalam memperjuangkan keadilan dan pengakuan penuh terhadap pesantren sebagai pilar pendidikan bangsa.
						Tuntutan tersebut menyoroti pentingnya pengakuan kesetaraan ijazah pondok pesantren dengan pendidikan formal, khususnya bagi santri lulusan pesantren salafiah yang telah menempuh pendidikan keagamaan secara sistematis dan berjenjang.
Dalam pernyataannya, KH. Naufal menegaskan bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang telah terbukti berperan besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk karakter generasi muda, serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sejak awal berdirinya republik ini, pesantren selalu berada di garda terdepan dalam melahirkan ulama, pendidik, sekaligus pejuang bangsa. Namun, realitas saat ini menunjukkan bahwa ijazah lulusan pesantren masih belum diakui secara setara dengan ijazah pendidikan formal.
Banyak lulusan pesantren yang terpaksa mengikuti jalur muadalah atau menempuh program kesetaraan Paket A, B, atau C, hanya agar bisa melanjutkan pendidikan tinggi atau mengikuti seleksi CPNS. Padahal, pendidikan di pesantren telah terbukti mendalam, terstruktur, dan berakar kuat pada tradisi keilmuan Islam Indonesia.
“Hal ini menimbulkan ketidakadilan struktural bagi santri dan membatasi kesempatan mereka untuk berkembang di dunia akademik maupun profesional,” ungkap KH. Naufal.
Dalam dokumen resmi yang dibacakan KH. Naufal, PCNU Banjar menyampaikan bahwa tuntutan ini memiliki landasan moral, historis, dan yuridis yang kuat.
Beberapa dasar hukum yang mendukung di antaranya:
1. UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) dan (3) yang menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan mengembangkan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan serta ketakwaan.
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mengakui pendidikan keagamaan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, yang menegaskan pesantren sebagai lembaga pendidikan resmi dengan fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, yang memperjelas peran pemerintah dalam pengakuan dan fasilitasi pendidikan keagamaan.
Berdasarkan pertimbangan di atas, PCNU Kabupaten Banjar menyampaikan lima tuntutan utama kepada Menteri Agama Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia, yakni:
1. Mengakui ijazah pesantren kajian Kitab Kuning yang dilaksanakan secara klasikal, terstruktur, dan berjenjang setara dengan ijazah pendidikan formal tanpa syarat tambahan atau ujian dari lembaga lain.
2. Segera membentuk dan memperkuat Direktorat Jenderal Pondok Pesantren (Dirjen Ponpes) di bawah Kementerian Agama RI agar memiliki kewenangan penuh dalam mengatur penyelenggaraan pendidikan pesantren di Indonesia.
3. Menyusun peraturan turunan dari UU Pesantren dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Agama (PMA) yang mengatur secara eksplisit:
– Pengakuan ijazah pesantren Kitab Kuning sebagai ijazah formal,
– Mekanisme penyetaraan internal antar-pondok,
– Integrasi sistem data pesantren ke dalam Sistem Pendidikan Nasional (Dapodik).
4. Melakukan harmonisasi antara UU Pesantren dan UU Sisdiknas agar tidak terjadi diskriminasi administratif terhadap lulusan pesantren dalam hal penerimaan mahasiswa, CPNS, maupun pengakuan akademik lainnya.
5. Memberikan afirmasi dan prioritas khusus bagi lulusan pesantren dalam penerimaan beasiswa, CPNS, dan program pendidikan tinggi keagamaan, sebagai bentuk penghargaan atas peran pesantren dalam mencetak sumber daya manusia yang berakhlak, berilmu, dan nasionalis.
Melalui tuntutan tersebut, PCNU Kabupaten Banjar menegaskan bahwa penyetaraan ijazah pesantren bukan hanya soal administratif, tetapi juga pengakuan terhadap jasa besar pesantren dalam membangun bangsa.
“Ini adalah bagian dari perjuangan moral kami, agar santri memperoleh hak yang sama sebagai warga negara dalam mengakses pendidikan dan lapangan kerja,” tegas KH. Naufal.
Pernyataan resmi tersebut ditutup dengan seruan penuh harapan agar pemerintah pusat segera mengambil langkah nyata, sehingga pesantren benar-benar diakui sebagai bagian utuh dari sistem pendidikan nasional.
Tuntutan ini ditandatangani di Martapura, 28 Oktober 2025 M / 06 Jumadil Awwal 1447 H oleh jajaran Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Banjar, terdiri dari:
– Rais: Dr. KH. Muhammad Husien, M.Ag
– Katib: KH. M. Naufal Rosyad, S.Ag
– Ketua: Ahmad Nuryadi, S.Ag
– Sekretaris: : dr. H. Diauddin HB., M.Kes
PCNU Banjar menutup pernyataannya dengan doa dan harapan agar perjuangan ini menjadi langkah bersejarah dalam memperjuangkan keadilan dan pengakuan penuh terhadap pesantren sebagai pilar pendidikan bangsa.
 
			



