REDAKSI8.COM, BANJAR – Menjelang 11 Ramadhan, kita kembali mengenang sosok mulia, Ummul Mu’minin, Khadijah Al-Kubra, istri pertama Rasulullah ﷺ. Seorang wanita yang bukan hanya menjadi pendamping setia, tetapi juga pejuang sejati dalam perjalanan Islam.
Dua pertiga wilayah Makkah pernah menjadi miliknya. Ia adalah wanita terhormat, kaya raya, dan terpandang. Namun, ketika ajal menjemputnya, Khadijah tidak memiliki selembar kafan pun. Pakaian yang melekat di tubuhnya penuh tambalan, jauh dari kemewahan yang dulu ia miliki.
Dalam detik-detik terakhirnya, ia berbisik kepada putrinya, Fatimah, dengan penuh kerendahan hati, “Fatimah, aku takut akan siksa kubur. Tolong mintakan kepada ayahmu, agar beliau memberikan sorbannya yang biasa digunakan menerima wahyu untuk dijadikan kain kafanku.”
Betapa rendah hatinya Khadijah, wanita yang telah mengorbankan seluruh hartanya demi perjuangan Islam. Mendengar permintaan itu, Rasulullah ﷺ terisak. Namun, Jibril turun dari langit membawa lima lembar kain kafan.
“Untuk siapa saja kafan ini, wahai Jibril?” tanya Rasulullah.
“Untuk Khadijah, untuk engkau, untuk Fatimah, untuk Ali, dan untuk Hasan,” jawab Jibril, sebelum tiba-tiba terdiam dan menangis.
“Apa yang membuatmu menangis, wahai Jibril?” tanya Rasulullah.
“Cucumu, Husain, ya Rasulullah. Ia akan wafat tanpa kafan, tanpa dimandikan, terbantai di padang Karbala.”
Tak hanya harta, Khadijah juga menyerahkan jiwanya untuk Islam. Di saat Rasulullah dihina, diusir, dan dilempari batu, ia adalah tempat beliau kembali, tempat beliau beristirahat dari lelahnya perjuangan.
Ketika Rasulullah pulang dari berdakwah dalam keadaan letih, Khadijah menyambutnya dengan penuh kasih sayang. Di pangkuan istrinya itulah Rasulullah menemukan ketenangan. Hingga suatu malam, air mata Khadijah menetes di wajah Rasulullah dan membangunkannya.
“Wahai Khadijah, mengapa engkau menangis?”
“Bukan karena aku menyesal bersuamikanmu, ya Rasulullah,” jawab Khadijah. “Dulu aku memiliki kemuliaan, harta, dan kehormatan. Semuanya telah aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Kini aku tak punya apa-apa lagi untuk mendukung perjuanganmu.”
Setelah kepergian Khadijah, Rasulullah ﷺ sering mengenangnya. Bahkan bertahun-tahun setelah wafatnya, beliau masih menyebut-nyebut namanya. Aisyah, istri Rasulullah setelah Khadijah, pernah merasa cemburu dan berkata, “Bukankah Allah telah menggantikan Khadijah dengan yang lebih baik?”
Dengan mata berkaca-kaca, Rasulullah menjawab, “Demi Allah, tidak! Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang mendustakanku. Ia mempercayaiku ketika yang lain menolakku. Ia menyerahkan hartanya untuk perjuanganku ketika yang lain menahannya. Dan darinya, Allah memberiku keturunan.”
Itulah Khadijah Al-Kubra, wanita yang menjadi pelita dalam kegelapan, kekuatan dalam kelemahan, dan bukti bahwa cinta sejati bukan sekadar kata-kata, tetapi pengorbanan yang tanpa pamrih.
Hari ini, kita mengenangnya bukan hanya sebagai istri Rasulullah, tetapi sebagai simbol keteguhan hati, keimanan, dan cinta sejati yang tak lekang oleh waktu.



