REDAKSI8.COM, BANJARBARU – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) secara resmi menetapkan keputusan pencabutan status dan hak Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia atau DPD LPRI Provinsi Kalsel sebagai Pemantau pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banjarbaru (Pilwali) Tahun 2024, Jum’at (9/5/25).

Hal itu berdasarkan keputusan KPU Kalsel dengan nomor 74 Tahun 2025 dan atas rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Banjarbaru laporan nomor 002/REG/LP/PW/Kota/22.02/IV/2025 tentang kajian dugaan pelanggaran administrasi.

Dengan itu, Ketua KPU Kalsel Andi Tenri Sompa memutuskan, mencabut status dan hak lembaga pengawasan reformasi Indonesia DPD LPRI Provinsi Kalsel sebagai lembaga pemantau pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banjarbaru tahun 2024.
Kemudian, Lembaga pemantau pemilihan yang telah dicabut status dan hak nya sebagai lembaga pemantau pemilihan dilarang menggunakan atribut lembaga pemantau pemilihan dan melakukan kegiatan yang ada hubungannya dengan pemantauan pemilihan.
“Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, ditetapkan di Banjarbaru pada tanggal 9 Mei 2025 Ketua KPU Provinsi Kalsel pertanda Andi Tenri Sompa,” ujarnya.
Disamping itu, bagaimana KPU Kalsel menghadapi gugatan LPRI di Mahkamah Konstitusi (MK)? Tenri menjawab, akan tetap mengikuti ketentuan dari Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, terlepas daripada keputusan hari ini, katanya otomatis LPRI sudah tidak memiliki legal standing untuk bisa melakukan gugatan.
“Maka itu kembali kepada Mahkamah Konstitusi, apakah sudah terigister ya, apakah kemudian MK meneruskan kepada sidang selanjutnya, ini kita serahkan kepada MK,” ungkapnya.
Tenri menjelaskan, keputusan ini diambil berdasarkan adanya rekomendasi dari Bawaslu Kota Banjarbaru terkait dengan pelanggaran administrasi, kemudian KPU Kalsel melakukan telaah hukum terhadap pelanggaran administrasi tersebut.
“Jadi kami punya waktu 7 hari sampai pada hari ini untuk menindaklanjuti rekomendasi dari Bawaslu dan kami menemukan bahwa memang terjadi pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh LPRI,” ujarnya.
Adapun pelanggaran administrasi yang dimaksud adalah salah satu bentuk yang tidak diperbolehkan yaitu melakukan kegiatan lain selain melakukan pemantauan pemilihan pada saat PSU.
Terbukti, LPRI sudah melakukan kegiatan lain yaitu melakukan hitung cepat, kemudian merilis hasil hitung cepat tersebut yang tentunya itu adalah hasil real count yang dilakukan oleh LPRI ke salah satu media.
“Ini yang tidak diperbolehkan sebagai lembaga pemantau, karena LPRI adalah lembaga pemantau bukan lembaga survei dan bukan lembaga hitung cepat,” tegasnya.
Disisi lain, kata Tenri pada saat itu KPU Provinsi Kalsel sedang melakukan rekap berjenjang, baru selesai rekap di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan rilis tersebut sudah dilakukan.
“Kami mengamati, kemudian melakukan pembuktian hal itu yang paling urgent yang dilakukan oleh LPRI yang menjadi point pelanggaran administrasi nya,” katanya.
Ia juga menegaskan, KPU tidak perlu melakukan sosialisasi terkait tugas dan tanggungjawab LPRI, karena hal itu sudah jelas diperaturan perundang-undangan dan menjadi domain LPRI untuk mengetahui nya.
“Sebagai pemantau harus sadar tugas, tanggungjawab dan kewenangan kemudian etika sebagai lembaga,” tuntasnya.