REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Di tengah pesatnya pembangunan di Kalimantan Timur, sebuah ironi masih tersimpan rapat di jalanan beraspal yang mulai retak, berlubang, dan terkadang berubah menjadi kubangan lumpur saat musim hujan tiba.
Kondisi jalan nasional yang menjadi tulang punggung konektivitas antardaerah, justru belum mendapat perhatian yang optimal.
Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur, Abdulloh, dengan nada serius namun tetap berimbang, mengungkapkan kegelisahan yang mewakili suara banyak pihak.
Ia menilai bahwa persoalan infrastruktur jalan, khususnya jalan nasional, tidak bisa terus dibiarkan menjadi masalah laten.
“Memang, sesuai statusnya, jalan nasional menjadi tanggung jawab penuh pemerintah pusat. Tapi faktanya, di lapangan, belum semua ruas mendapat perhatian yang layak,” ujarnya, menyoroti betapa pentingnya infrastruktur yang baik bagi pergerakan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Kalimantan Timur, dengan wilayah yang begitu luas dan karakter geografis yang beragam, membutuhkan akses jalan yang memadai untuk mendukung aktivitas sosial ekonomi, distribusi logistik, dan mobilitas harian masyarakat.
Sayangnya, banyak ruas jalan nasional, mulai dari kawasan perkotaan hingga ke daerah perbatasan, justru tampak terabaikan.
Retakan, lubang menganga, hingga badan jalan yang bergelombang menjadi pemandangan biasa yang seharusnya tidak terjadi di jalan dengan status nasional.
Abdulloh mengakui bahwa dari sisi pendanaan, pemerintah provinsi tidak memiliki kewenangan langsung untuk memperbaiki jalan nasional karena sudah menjadi ranah APBN yang dikelola oleh Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN).
Meski demikian, menurutnya, keterbatasan sumber daya di BBPJN menyebabkan banyak ruas jalan tidak tertangani secara optimal.
Lebih lanjut, Abdulloh juga menyinggung wacana yang sempat mengemuka, yaitu mengusulkan perubahan status beberapa ruas jalan nasional menjadi jalan provinsi atau bahkan kota.
Namun, ia menilai langkah ini bukan solusi cepat. Proses administrasi yang panjang, mulai dari pengajuan hingga keluarnya Surat Keputusan (SK) perubahan status, bisa memakan waktu hingga bertahun-tahun, bahkan lebih dari lima tahun dalam beberapa kasus.
“Kalau kita mengandalkan perubahan status, dikhawatirkan kondisi jalan justru semakin parah selama proses itu berlangsung. Sementara kebutuhan masyarakat akan jalan yang layak tidak bisa menunggu terlalu lama,” jelasnya.
Sebagai contoh nyata, Abdulloh mengangkat kasus di wilayah Kabupaten Kutai Barat, di mana ada beberapa ruas jalan yang diusulkan untuk menjadi jalan provinsi.
Namun, melihat kondisi darurat di lapangan, ia dan jajaran Komisi III DPRD Kaltim lebih memilih pendekatan realistis, yakni terus mendesak pemerintah pusat agar bertindak lebih cepat dan tepat, tanpa harus bergantung pada perubahan status administrasi jalan.
“Status boleh nasional, tetapi perhatian terhadap pemeliharaannya harus maksimal. Jangan sampai masyarakat dirugikan hanya karena jalanan dibiarkan rusak terlalu lama,” tegasnya.
Lebih dari sekadar infrastruktur fisik, Abdulloh menekankan bahwa kualitas jalan adalah refleksi dari keberpihakan negara terhadap kesejahteraan rakyatnya.
Jalan yang baik berarti akses pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan pelayanan publik yang lebih mudah dan cepat.
Baginya, memperjuangkan jalan nasional yang layak adalah bagian dari tanggung jawab moral sebagai wakil rakyat, sekaligus upaya mewujudkan keadilan pembangunan di seluruh pelosok Kalimantan Timur.
Ia berharap suara kritis dari DPRD ini dapat mendorong pemerintah pusat untuk lebih sigap dan responsif dalam menjaga dan memperbaiki ruas-ruas jalan nasional yang rusak.
Dalam pandangannya, membangun konektivitas bukan hanya tentang membangun jalan baru, melainkan memastikan jalan yang sudah ada tetap dalam kondisi terbaiknya demi melayani kebutuhan masyarakat.
Konektivitas yang sejati, kata Abdulloh, lahir dari komitmen kuat untuk menghadirkan keadilan dan kemudahan akses di seluruh penjuru negeri.

