REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Di tengah antrean panjang ruang tunggu rumah sakit di Kalimantan Timur, diam-diam muncul keresahan baru yang mengakar.

Bukan hanya karena keterbatasan fasilitas atau lamanya waktu tunggu, melainkan karena semakin banyaknya jenis penyakit yang tidak lagi ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

Keluhan demi keluhan dari warga mulai berdatangan, dan Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Darlis Pattalongi, menjadi salah satu suara yang paling vokal menyuarakan kegelisahan itu.
“BPJS memang ada, tapi sekarang masalahnya adalah semakin banyak penyakit yang tidak di-cover,” ungkap Darlis, saat ditemui di Samarinda.
Menurut Darlis, banyak warga merasa tertipu oleh sistem. Mereka sudah rutin membayar iuran, bahkan menerima kenaikan tarif iuran beberapa waktu lalu, tapi justru akses layanan kesehatan malah menyempit.
Pasien yang datang dengan harapan bisa ditangani, justru harus pulang dengan kecewa karena penyakitnya tak lagi masuk dalam daftar manfaat BPJS.
“Masyarakat tidak tahu ini sebelumnya. Mereka tahunya sudah bayar iuran, seharusnya bisa berobat,” imbuhnya.
Darlis menyebut kondisi ini sebagai paradoks layanan publik. Kenaikan iuran BPJS tidak diimbangi dengan peningkatan cakupan atau kualitas layanan.
Yang terjadi justru sebaliknya: semakin banyak batasan dan penolakan, terutama bagi penyakit-penyakit yang tergolong kronis atau memerlukan penanganan jangka panjang.
“Nilai iuran naik, tapi layanan yang didapat semakin terbatas. Ini yang harus kita cari solusinya,” tegasnya.
Ia menegaskan kesehatan, merupakan hak dasar rakyat, bukan komoditas yang bisa dikurangi sesuka kebijakan. Ketika rakyat yang taat membayar iuran justru ditolak saat sedang sakit, kepercayaan publik terhadap sistem bisa hilang.
Darlis menyoroti kurangnya sosialisasi dan transparansi dari BPJS Kesehatan mengenai perubahan layanan.
Menurutnya, masyarakat baru tahu bahwa penyakit tertentu tak lagi ditanggung ketika sudah berada di ruang pemeriksaan—terlambat untuk mencari alternatif.
“Kalau memang ada penyesuaian, harus jelas dan transparan. Jangan sampai masyarakat baru tahu saat mereka sudah sakit dan butuh perawatan,” katanya.
Ia meminta agar pemerintah, melalui BPJS, tidak sembarangan dalam mengambil kebijakan yang berdampak langsung pada jutaan rakyat kecil.
Kebijakan yang membatasi cakupan tapi tidak mengurangi iuran dinilai sangat tidak adil.
“Jangan dipersempit cakupan BPJS sementara masyarakat tetap membayar iuran,” tambahnya dengan nada kesal.
Bagi Darlis, isu ini lebih dari sekadar data statistik atau laporan tahunan. Di balik kebijakan teknis itu, ada ribuan kisah keluarga yang harus menunda pengobatan karena tidak sanggup membayar biaya penuh, ada kepala rumah tangga yang bingung mencari pinjaman demi menyelamatkan anaknya, dan ada lansia yang pasrah karena obat yang dibutuhkan tak bisa ditebus.
“Jangan biarkan masyarakat yang paling membutuhkan justru menjadi yang paling dirugikan,” pungkasnya.
Komisi IV DPRD Kaltim akan mendorong evaluasi menyeluruh terhadap sistem layanan BPJS di wilayahnya.
Mereka menuntut agar ada kejelasan kebijakan, pemetaan ulang terhadap penyakit yang wajib ditanggung, dan kebijakan subsidi yang lebih berpihak pada kelompok miskin dan rentan.
Dengan suara tegasnya, Darlis mewakili harapan rakyat yang sederhana: ketika sakit, mereka ingin ditangani—bukan ditolak karena alasan administratif yang tak pernah mereka pahami.