REDAKSI8.COM, SAMARINDA — Bubuhan Advokat Kalimantan Timur (Kaltim), yang merupakan komunitas praktisi hukum yang aktif memperjuangkan keadilan di wilayah ini, resmi melayangkan surat keberatan kepada Badan Kehormatan (BK) DPRD Kalimantan Timur.

Surat tersebut berkaitan dengan dugaan tindakan tidak pantas yang dilakukan oleh dua anggota DPRD Kaltim saat memimpin Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang membahas persoalan hak-hak karyawan Rumah Sakit Haji Darjad (RSHD) Samarinda.

Surat keberatan yang diserahkan langsung oleh perwakilan Bubuhan Advokat Kaltim ke Gedung DPRD Kaltim itu bertujuan untuk meminta klarifikasi serta pertanggungjawaban moral dari dua anggota dewan yang diduga telah merendahkan martabat profesi advokat, terutama terhadap salah satu rekan sejawat mereka, yakni Febronius Kefi yang saat itu bertindak sebagai kuasa hukum pihak RSHD.
Hairul Bidol, Ketua Tim Advokasi Bubuhan Advokat Kaltim, menjelaskan bahwa pengajuan keberatan tersebut bukan semata-mata soal perdebatan dalam ruang rapat, melainkan menyangkut integritas dan martabat profesi advokat yang telah diatur dan dilindungi secara hukum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
“Sikap yang ditunjukkan dua anggota dewan dalam forum resmi tersebut, menurut kami sangat tidak mencerminkan etika sebagai pejabat publik dan wakil rakyat. Apalagi tindakan mereka sampai mengusir rekan kami dari ruang RDP hanya karena perbedaan pendapat terkait kewenangan pengambilan keputusan dalam hal pembayaran gaji pegawai rumah sakit,” ujar Hairul.
Ia menyebut, saat surat keberatan disampaikan, Ketua BK DPRD Kaltim tidak berada di tempat. Oleh karena itu, dokumen tersebut diserahkan melalui staf sekretariat BK dengan harapan segera diteruskan kepada pihak yang berwenang untuk ditindaklanjuti.
Menurut Hairul, surat itu diberikan dengan tenggat waktu yang jelas, yakni selama tujuh hari ke depan, untuk mendapatkan jawaban atau respon dari BK DPRD.
“Kami tidak ingin konflik ini berlarut-larut, namun sebagai komunitas yang menjunjung tinggi profesi hukum, kami wajib mempertahankan marwah advokat. Tujuh hari adalah waktu yang kami nilai wajar dan cukup untuk memberikan respons balik,” tegasnya.
Apabila dalam batas waktu yang diberikan tidak ada respons atau tindak lanjut dari pihak DPRD, Hairul menyatakan bahwa timnya yang terdiri dari sepuluh orang advokat akan segera berkumpul kembali untuk membahas langkah-langkah hukum lanjutan sesuai mekanisme yang berlaku.
“Kami siap mengambil langkah berikutnya secara hukum jika surat ini diabaikan. Namun tetap dengan menjunjung asas musyawarah, kami ingin semua pihak memahami bahwa ini bukan sekadar konflik antar individu, tetapi menyangkut profesionalitas dan etika dalam forum resmi,” ujarnya lagi.
Senada dengan Hairul, Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Kaltim, Fajriannur, menyatakan kekecewaannya terhadap tindakan dua anggota dewan yang menurutnya tidak mencerminkan sikap seorang mediator publik.
Ia menegaskan, posisi DPRD seharusnya menjadi jembatan komunikasi yang adil, bukan justru memperuncing konflik dengan tindakan yang mencederai profesi hukum.
“Advokat yang hadir dalam RDP tersebut bukan atas nama pribadi, tapi menjalankan perannya sebagai kuasa hukum yang dilindungi undang-undang. Sangat disayangkan jika perbedaan pendapat dijawab dengan pengusiran. Ini memberi kesan buruk pada proses mediasi publik yang seharusnya dijaga integritasnya,” papar Fajriannur.
Ia berharap agar BK DPRD Kaltim tidak menutup mata dan segera memfasilitasi dialog atau mediasi antara pelapor dan terlapor guna mencegah eskalasi konflik.
“Kami tidak ingin ini menjadi preseden buruk ke depan. Karena itu, kami berharap ada itikad baik dari BK untuk memanggil semua pihak, dan mempertemukan kami agar persoalan ini bisa selesai secara bermartabat,” imbuhnya.
Sebagai pihak penerima surat, Eggy, salah satu staf sekretariat BK DPRD Kaltim, berjanji akan mengawal proses penyampaian dokumen tersebut kepada pihak yang berwenang di tubuh BK.
Ia memastikan bahwa informasi atau perkembangan terbaru akan disampaikan langsung kepada perwakilan advokat yang hadir pada hari penyerahan surat.
“Kami memahami ini merupakan isu penting, dan kami akan pastikan suratnya diterima langsung oleh pimpinan BK. Jika ada kabar selanjutnya, akan segera kami informasikan,” tutup Eggy.
Dengan adanya surat keberatan ini, publik kini menanti bagaimana respons DPRD Kaltim, khususnya Badan Kehormatan, dalam menyikapi tudingan pelanggaran etika oleh anggotanya.
Kejelasan penyelesaian konflik ini akan menjadi indikator sejauh mana DPRD mampu menjaga marwah lembaga legislatif sekaligus memperlihatkan komitmen terhadap etika dan keadilan dalam proses demokrasi lokal.