REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Tokoh Nahdlatul Ulama Kalimantan Timur (Kaltim) Asman Aziz menilai, pemerintah hanya mendorong bola panas terhadap organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan.
Seperti banyak diberitakan, pemberian izin dilakukan setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No.25/2024 pada akhir Mei lalu.
Dalam regulasi terbaru itu, salah satunya mengatur tentang pemberian wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada ormas keagamaan.
Regulasi tersebut merupakan perubahan atas PP 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Penggerak GUSDURian di Samarinda, Kalimantan Timur, Asman turut menyikapi, pemberian WIUPK tak lebih sekadar dari proses cara kekuasaan hari ini.
Dimana pemerintah Jokowi Ia berpendapat, telah membungkam kelompok-kelompok masyarakat sipil khususnya dalam hal ini ormas keagamaan.
“Kita lihat kekuasaan hari ini ber-terimakasih terhadap lembaga keagamaan, khususnya lembaga keagamaan yang mendukung presiden kemarin. Sekarang dimenangkan oleh Prabowo dan Gibran yang di dukung juga oleh PBNU,” kata Asman Azis saat ditemui langsung, Minggu (9/7/2024) siang.
Sebelumnya, Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia berjanji memberikan IUP kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Asman menyakini, pemberian perizinan itu merupakan bentuk terimakasih yang akan melemahkan NU dalam konteks gerakan masyarakat sipilnya.
“Dalam konteks itu, saya lihat ya pemerintah sekadar mendorong bola panas ke dalam ormas keagamaan,” sebut Lelaki lulusan Universitas Alauddin Makassar itu.
Tradisi Bahtsul Masail yang Hilang di Tubuh PBNU
PBNU pun menyambut langsung regulasi itu secara terbuka. Dengan mengajukan IUP, dan ormas keagamaan pertama yang akan menjalankan usaha tambang tersebut.
Asman mengatakan, dari sekian banyak organisasi keagamaan sudah menyatakan penolakan terhadap pemberian WIUPK dari pemerintah.
Akan tetapi, Asman menyayangkan sikap PBNU yang menerima tanpa ada pendiskusian secara serius.
“Saya memang tidak tahu proses pendiskusian di internal, tapi biasanya NU dalam urusan-urusan yang sangat strategis selalu ada tradisi Bahtsul Masail,” jelas Asman.
Bahtsul Masail sendiri merupakan forum silaturahmi bagi orang NU. Di dalamnya melakukan pembahasan dan pemecahan masalah-masalah yang Maudlu’iyah (tematik) dan Waqi’iyah (aktual), dan memerlukan kepastian hukum yang belum pernah dibahas sebelumnya.
“Bahtsul Masail itu harus jelas referensinya, dan harus jelas basis-basis ke ilmuannya. Biasanya ada penjelasan fikihnya atau dalil-dalil ke agamaannya,” jelasnya.
“Nah sampai sekarang kita tidak pernah mendengarkan penjelasan yang cukup komprehensif dari PBNU. Misalnya, terkait kenapa mereka menerima WIUPK itu,” sambungnya.
Asman menyebut, tugas NU sebenarnya mentransformasi masyarakat. Tujuannya supaya dapat menjadi penyeimbang kekuasaan.
“Ketika NU sudah mengambil langkah untuk menerima IUP, maka di saat yang sama tidak mungkin lagi NU bisa kritis terhadap kekuasaan. Itu pasti, karena akan menjadi konflik kepentingan. Di satu sisi, NU akan punya bisnis yang sangat tergantung dengan regulasi maupun juga kemurah-hatian kekuasaan,” terangnya.
Sementara itu, Asman menegaskan, tugas NU sejatinya menmentransformasi masyarakat. Mampu kritis terhadap kekuasaan negara yang tidak beres mengelola bangsa.
“Negara ini cenderung kalau tidak di kritisi akan korup dan menyalahgunakan kekuasaannya. Itu saya kira akan terus terjadi dan melemahkan gerakan sipil,” tegasnya.
Berdasarkan AD/ART (Anggaran Dasar dan Rumah Tangga) NU, terdapat usaha-usaha koperasi untuk menyejahterakan masyarakat dan mendukung roda organisasi.
“Dahulu kyai-kyai atau ulama NU, membangun koperasi yang melibatkan anggota dan membuat mereka sejahtera,” sahutnya.
Bagi Asman, NU sudah menunjukkan kontribusinya dalam konteks memperkuat ekonomi bangsa. Namun, pemberian izin hanya akan melemahkan NU itu sendiri.
Mengingat jauh ke belakang, sejarah dan latar belakang Nahdlatul Ulama tidak bisa dipisahkan dengan pesantren.
Kemudian, para kyai-kyai pesantren bersepakat mendirikan NU secara resmi sebagai organisasi tahun 1926.
Sebelumnya, pada 1918 kyai-kyai yang menghimpunkan diri di Nahdlatul Ulama, sudah mendirikan yang namanya Nahdlatut Tujjar.
Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Pedagang merupakan gerakan kebangkitan ekonomi rakyat yang tidak dapat dipisahkan dengan Nahdlatul Ulama (NU).
“Saat muktamar NU itu biayanya dari keuntungan-keuntungan koperasi atau usaha yang dibangun oleh Nahdlatut Tujjar,” ujarnya.
Asman kerap terlibat dalam agenda advokasi dan riset keadilan ekologi, ia menyoroti, sebagian besar orang-orang NU tingkat bawah yang menjadi korban dari izin usaha pertambangan.
“Saya tidak membayangkan misalnya, NU punya izin usaha dan pertama keluar itu malah di Kaltim. Kita tau dimana-mana usaha pertambangan pasti membuat konflik dengan masyarakat sekitar. Ini sangat rawan kedepan, NU akan dibenturkan dengan masyarakat di sekitar pertambangan,” sorotnya.
Dia menambahkan, kelompok masyarakat sipil seperti Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Selama ini mengkritisi proses penghancuran lingkungan lewat pertambangan, kedepan akan bisa dihadapkan juga dengan PBNU.
“Orang yang menolak tambang mungkin dianggap melawan PBNU. Kemudian, dianggap juga tidak setuju dengan Islam nusantara. Jadi rawan sekali, sementara kita tau karakter dasar tambang ini pintu masuknya korupsi dengan kekerasan,” tandasnya.
Lebih jauh kepada Redaksi8.com, dari sisi perizinan yang sudah di korupsi, proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) saat otonomi daerah di Kalimantan Timur, dibiayai dari bisnis gelap pertambangan yang beredar.
“Kenapa NU mau masuk di lingkaran hitam seperti itu?” tanya Asman.
Asman menduga, kemungkinan besar NU akan menjadi makelar saja. Meski nanti sudah memiliki izin, tidak mungkin orang PBNU yang kerja.
“NU selalu bilang NU siap, kita punya SDM (Sumber Daya Manusia), tapi menurut saya tidak mungkin orang pesantren akan mengerjakan itu. Pasti diserahkan ke orang-orang yang punya pengalaman menggarap pertambangan selama ini,” tuturnya.
Dalam catatan Jatam, di Kaltim masih ada 1.735 lubang bekas tambang. Di Kota Samarinda sendiri terdapat 349 lubang tanpa direklamasi dan sudah menewaskan 49 korban jiwa.
“Kalau NU menambang di Kaltim, itu akan menambah lubang-lubang terus mau direklamasi itu seperti apa. Mau menghancurkan bukit atau gunung dimana lagi, mengangkut tanah dari mana?” tanyanya.
Hal di atas perlu dipertimbangkan oleh NU, dimana tata kelola pertambangan harus diperbaiki terlebih dahulu.
“Stop izin dan perbaiki tata kelola nya. Nanti kalau pemerintah berhasil memperlihatkan tata kelola pertambangan yang lebih baik, dan bermanusiawi, juga lebih beradab. Dalam konteks orang-orang beragama seperti NU harusnya itu dulu yang diperhatikan,” tegasnya.
Asman menegaskan, banyaknya pertimbangan sebagai bahan Bahtsul Masail di NU, termasuk mengenai keselamatan rakyat.
“Jangan hanya berfikir soal saya akan mendapat keuntungan yang banyak. Sangat rawan di organisasikan, gimana itu kalau ada orang-orang tertentu yang kaya dari proses ini,” kritiknya.
Tidak menutup kemungkinan, hadirnya pertambangan banyak menggunakan kekerasan. Perusahaan tambang yang dijaga oleh kelompok-kelompok preman sipil
“Kita tau lah itu semua tambang-tambang di Kaltim. Seperti pemuda Pancasila, dan laskar-laskar adat itu semua ada di belakang perusahaan tambang,”
Asman mengingat, di zaman Gusdur. PBNU menjadi tempat persembunyian atau tempat yang nyaman bagi aktivis-aktivis, ketika dicari oleh kekuasaan dan polisi.
“Termasuk aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik) di zaman orde baru, dianggap sangat kritis terhadap kekuasaan. Itu ya tempat sembunyi yang nyaman di tempat Gusdur ya PBNU. Kemudian, apakah NU akan menggunakan bansernya seperti itu, ini orang yang akan mengkritik tambang akan berhadapan dengan banser,” pungkasnya.