REDAKSI8.COM, SAMARINDA — Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur, Ananda Emira Moeis, kembali menyoroti pentingnya penguatan sistem pembinaan dan pengawasan dalam pelaksanaan program bantuan sosial (bansos) di daerah.

Dalam sebuah diskusi publik yang disiarkan oleh stasiun televisi daerah, Nanda — sapaan akrab politisi muda dari PDI Perjuangan itu — menyampaikan pandangannya bahwa keberhasilan program bansos tidak semata-mata terletak pada pemberian bantuan modal semata, tetapi lebih pada seberapa kuat proses pendampingan terhadap para penerima manfaat.

“Pemberian bantuan harus disertai dengan pembinaan yang berkelanjutan. Jangan hanya dikasih modal lalu dibiarkan. Kalau seperti itu, program bisa saja tidak berjalan lama dan malah gagal,” ujarnya dalam forum yang mempertemukan kalangan legislatif, akademisi, dan masyarakat sipil itu.
Menurutnya, banyak program bansos yang gagal mencapai tujuan jangka panjang karena kurangnya perhatian terhadap aspek manajerial penerima bantuan.
Ia menegaskan, sejak tahap verifikasi dan validasi calon penerima, pemerintah daerah harus memastikan bahwa masyarakat yang diberi bantuan adalah mereka yang benar-benar membutuhkan dan memiliki rencana usaha yang jelas.
“Pendampingan usaha itu penting, agar penerima tidak berhenti di tengah jalan. Tidak semua orang langsung bisa memutar modal menjadi hasil. Harus ada pembimbingan, pelatihan, bahkan mungkin pembukaan akses pasar,” tegas Nanda.
Lebih lanjut, ia juga mengusulkan agar pemerintah melalui dinas terkait merancang mekanisme permohonan dan pelaksanaan program bantuan dengan durasi yang jelas dan berorientasi pada keberlanjutan.
Menurutnya, hal ini penting agar masyarakat tidak terjebak dalam ketergantungan terhadap bantuan yang bersifat karitatif.
“Usaha masyarakat harus diarahkan agar mandiri dan berkelanjutan. Kalau programnya terstruktur dan ada batas waktu pendampingan yang terukur, maka hasilnya bisa dilihat. Tidak semua harus terus-menerus dibantu, yang penting diberi jalan dan pengetahuan,” tambahnya.
Sementara itu, pengamat sosial dari Universitas Mulawarman, Muhammad Arifin, yang turut hadir dalam diskusi tersebut, memperkuat pendapat Nanda dengan menekankan pentingnya perubahan paradigma dalam penanggulangan kemiskinan.
Menurutnya, persoalan kemiskinan tidak cukup diselesaikan dengan bantuan materi saja, melainkan membutuhkan pendekatan strategis yang melibatkan pembangunan sumber daya manusia.
“Program bantuan yang berjalan parsial dan sektoral akan selalu menimbulkan ketimpangan. Kita butuh skenario besar yang menyatukan semua pemangku kepentingan dalam satu kerangka kerja yang terpadu,” kata Arifin.
Ia menilai, tantangan utama dalam pelaksanaan bansos selama ini adalah lemahnya kesinambungan program, serta minimnya kolaborasi antarlembaga.
Tanpa perencanaan matang, sambung Arifin, berbagai program bantuan yang semula dimaksudkan untuk menyejahterakan masyarakat justru bisa berubah menjadi beban anggaran karena tidak menghasilkan dampak yang signifikan.
“Perencanaan harus berbasis data, kebutuhan riil masyarakat, dan memiliki target pencapaian yang terukur. Bukan hanya soal penyerapan anggaran, tapi dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan rakyat,” paparnya.
Baik Nanda maupun Arifin sepakat bahwa untuk menciptakan perubahan nyata dalam kehidupan masyarakat, diperlukan kebijakan yang tidak hanya populis, tetapi juga berbasis kebutuhan nyata di lapangan.
Mereka mendorong agar semua pemangku kebijakan, baik di level eksekutif maupun legislatif, mulai mengedepankan pendekatan partisipatif dan integratif dalam menyusun dan menjalankan program bantuan sosial.
Dengan penekanan pada aspek pembinaan, monitoring, dan kolaborasi lintas sektor, keduanya berharap bahwa arah kebijakan bantuan sosial ke depan bisa lebih terukur, berdampak luas, dan berkontribusi nyata dalam menurunkan angka kemiskinan serta meningkatkan kapasitas ekonomi masyarakat di Kalimantan Timur.