Rapat yang dipimpin Sekda Muba, H. Apriadi, M.Si, turut dihadiri Bupati Muba H. Toha Tohet, Wakil Bupati Kyai Rohman, Ketua DPRD H. Junaidi Gumai, Dandim 0401, Kajari Muba Roy Riady, SH, MH, serta Wakapolres Kompol Iwan Wahyudi, SH. Tak hanya pejabat pemerintah, perwakilan kelompok masyarakat dari tujuh desa, aktivis, serta Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga hadir dalam pertemuan tersebut.
Konflik ini bermula dari dugaan pengelolaan lahan ribuan hektar di luar Hak Guna Usaha (HGU) oleh PT GPI tanpa izin yang jelas. Selain itu, masyarakat menuntut pembayaran ganti rugi lahan yang selama ini dikelola oleh perusahaan tanpa sepeser pun diberikan kepada pemilik sahnya.
Namun, perwakilan PT GPI dalam rapat justru dinilai berusaha menghindar dengan berdalih bahwa mereka telah melakukan pembayaran ganti rugi. Pernyataan ini langsung dibantah oleh Alamsyah, perwakilan masyarakat dari tujuh desa, yang menegaskan bahwa hingga kini tidak ada ganti rugi yang dibayarkan kepada masyarakat.
“Kami sudah berulang kali menuntut hak kami, bahkan kesepakatan sudah dibuat untuk mengembalikan ribuan hektar lahan di luar HGU kepada masyarakat. Tapi kenyataannya, PT GPI terus mengelak dengan berbagai alasan,” tegasnya.
Kepala BPN Muba, Ahmad Aminullah, SH, M.Kn, juga mempertanyakan klaim PT GPI. Ia meminta bukti dokumen pembayaran ganti rugi jika memang perusahaan telah menunaikan kewajibannya.
“Kalau memang sudah dibayarkan, kepada siapa? Kami ingin lihat bukti dan nama penerimanya,” ujarnya.
Sementara itu, Kajari Muba, Roy Riady, SH, MH, menyatakan kekecewaannya atas ketidakhadiran pengambil keputusan dari pihak PT GPI dalam rapat tersebut.
“Untuk apa kita rapat terus kalau tidak ada solusi? Ini sudah puluhan tahun, dan masyarakat masih dirugikan. Saya tidak ingin meninggalkan masalah ini begitu saja sebelum saya pindah tugas,” katanya tegas.
Ia juga menyoroti bahwa kasus serupa pernah terjadi di PT SMB, di mana lahan ribuan hektar di luar HGU dikelola secara ilegal hingga berujung pada kasus hukum.
Arianto, SE, Ketua LIPER-RI Muba yang juga perwakilan masyarakat, mengungkapkan adanya indikasi praktik mafia tanah yang melibatkan sejumlah oknum pejabat dan perangkat desa.
“Ada bukti penerimaan uang Rp600 juta untuk pembuatan SPH (Surat Pengakuan Hak) atas nama masyarakat, yang diduga dimanipulasi. Beberapa warga bahkan sudah dimintai keterangan oleh penyidik Kejari Muba terkait jual beli lahan ini,” ujarnya.
Tak hanya itu, hasil pengukuran BPN menunjukkan bahwa sekitar 4.000 hektar lahan di luar HGU dikelola oleh PT GPI, sementara 500 hektar lainnya milik kelompok Madani Adenas yang dikuasai secara ilegal oleh PT GPI dan KUD Muda Rasan Jaya.
Lebih miris lagi, konflik ini telah memakan korban jiwa. “Sudah ada tiga orang meninggal akibat perebutan lahan dan keterlibatan preman bayaran. Ini harus segera diselesaikan!” tegas Arianto.
Bupati Muba, H. Toha Tohet, dalam pernyataan tegasnya menyatakan tidak akan tinggal diam jika hak-hak masyarakat terus diabaikan.
“Saya dipilih oleh rakyat, dan saya tidak mau rakyat saya tertindas oleh perusahaan. Saya mendukung investasi, tapi hak masyarakat juga harus dipenuhi! Jika masalah ini tidak selesai, saya akan bersurat langsung ke Presiden, Satgas Mafia Tanah, dan Kapolri,” ancamnya.
Ia juga memberikan lampu hijau kepada masyarakat untuk memasang plang penguasaan lahan mereka, namun tanpa membuat portal yang menghambat aktivitas perusahaan.
Dengan eskalasi konflik yang semakin tajam, publik kini menanti langkah konkret dari Pemkab Muba, aparat penegak hukum, dan pemerintah pusat dalam menuntaskan kasus yang telah berlangsung puluhan tahun ini. Akankah keadilan akhirnya berpihak pada masyarakat.