REDAKSI 8.COM, TAPTENG | Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menyoroti proyek pembangunan Kantor Bupati Tapanuli Tengah (Tapteng) senilai Rp 69,9 miliar yang mangkrak sejak mulai dikerjakan pada tahun 2020. Ia menilai proyek multiyears tersebut cacat hukum dan berpotensi menimbulkan kerugian negara.
“Proyek itu dibangun tanpa dasar hukum. Ini merupakan pelanggaran hukum dalam proyek tahun jamak,” ujar Iskandar Sitorus dalam siaran pers yang diterima, Senin (27/10/2025).
Iskandar menjelaskan, sesuai Pasal 92 PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, kegiatan tahun jamak (multiyears) hanya dapat dilakukan dengan persetujuan bersama kepala daerah dan DPRD, serta tidak boleh melampaui masa jabatan kepala daerah.
Namun, proyek pembangunan Kantor Bupati Tapteng yang dimulai pada 2020 terus dianggarkan hingga 2022, padahal masa jabatan kepala daerah berakhir pada tahun yang sama.
“Tidak ada Peraturan Daerah (Perda) yang menjadi dasar hukum kegiatan tahun jamak tersebut, padahal itu merupakan kewajiban eksplisit sebagaimana diatur dalam Permendagri 77/2020,” ujarnya.
Menurut Iskandar, pelaksanaan proyek tanpa dasar hukum tersebut bukan sekadar kelalaian administratif, tetapi pelanggaran hukum yang disengaja (reckless negligence) untuk menghindari mekanisme pengawasan DPRD.
“Proyek senilai Rp 69,9 miliar itu secara formil cacat hukum dan secara materil telah menimbulkan kerugian negara nyata karena dana publik telah dikeluarkan tanpa menghasilkan aset yang fungsional,” jelasnya.
Ia menegaskan, kasus ini memenuhi unsur Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yakni setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara.
Lebih lanjut, Iskandar menyebut kasus proyek mangkrak tersebut mencerminkan kerusakan sistemik dalam pengelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga pengawasan.
“Inspektorat, TAPD, dan DPRD seolah mati fungsi, karena tidak menjalankan kontrol sebagaimana diamanatkan PP dan Permendagri,” tegasnya.
Dalam Permendagri 77/2020 ditegaskan bahwa setiap kegiatan tahun jamak wajib memiliki Perda khusus, disetujui bersama kepala daerah dan DPRD, serta pembayarannya hanya dapat dilakukan berdasarkan dokumen resmi seperti DPA, SPD, dan SPM. Namun, mekanisme tersebut diduga dilanggar secara terang-terangan dalam proyek Tapteng.
Iskandar mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara untuk mengusut seluruh kontrak proyek multiyears di Tapteng pada periode 2020-2022 yang tidak memiliki dasar hukum sah.
“Kejati Sumut kini memiliki momen krusial untuk membuktikan bahwa penegakan hukum berbasis audit bukan sekadar penindakan individu, tapi juga pemulihan sistemik keuangan negara,” ujarnya.
Menelusuri pejabat penandatangan dokumen anggaran yang cacat hukum.
Menerapkan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jika ditemukan indikasi aliran dana yang memperkaya pihak tertentu. Menetapkan besaran kerugian negara dan menyusun rencana penyelamatan aset.
Mempublikasikan hasil penyidikan agar publik mengetahui sejauh mana uang rakyat diselamatkan.
“Keadilan bukan sekadar hukuman, tapi transparansi dan pemulihan. Publik berhak tahu siapa yang bertanggung jawab atas setiap rupiah uang rakyat yang hilang,” tegas Iskandar.
Menurutnya, transparansi dalam penyidikan dan pemulihan aset justru akan memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi hukum.
“Keadilan tidak lahir dari vonis, tapi dari keberanian membuka seluruh fakta,” tambahnya.
Menutup pernyataannya, Iskandar menyebut kasus di Tapteng sebagai cermin nasional tentang bagaimana pelanggaran keuangan daerah bukan disebabkan ketidaktahuan, melainkan keberanian menabrak aturan.
“PP 12/2019 dan Permendagri 77/2020 sudah menjadi pagar hukum yang kokoh. Yang hilang hanyalah kemauan politik dan integritas hukum untuk menegakkannya,” pungkasnya.
“Proyek itu dibangun tanpa dasar hukum. Ini merupakan pelanggaran hukum dalam proyek tahun jamak,” ujar Iskandar Sitorus dalam siaran pers yang diterima, Senin (27/10/2025).
Iskandar menjelaskan, sesuai Pasal 92 PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, kegiatan tahun jamak (multiyears) hanya dapat dilakukan dengan persetujuan bersama kepala daerah dan DPRD, serta tidak boleh melampaui masa jabatan kepala daerah.
Namun, proyek pembangunan Kantor Bupati Tapteng yang dimulai pada 2020 terus dianggarkan hingga 2022, padahal masa jabatan kepala daerah berakhir pada tahun yang sama.
“Tidak ada Peraturan Daerah (Perda) yang menjadi dasar hukum kegiatan tahun jamak tersebut, padahal itu merupakan kewajiban eksplisit sebagaimana diatur dalam Permendagri 77/2020,” ujarnya.
Menurut Iskandar, pelaksanaan proyek tanpa dasar hukum tersebut bukan sekadar kelalaian administratif, tetapi pelanggaran hukum yang disengaja (reckless negligence) untuk menghindari mekanisme pengawasan DPRD.
“Proyek senilai Rp 69,9 miliar itu secara formil cacat hukum dan secara materil telah menimbulkan kerugian negara nyata karena dana publik telah dikeluarkan tanpa menghasilkan aset yang fungsional,” jelasnya.
Ia menegaskan, kasus ini memenuhi unsur Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yakni setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara.
Lebih lanjut, Iskandar menyebut kasus proyek mangkrak tersebut mencerminkan kerusakan sistemik dalam pengelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga pengawasan.
“Inspektorat, TAPD, dan DPRD seolah mati fungsi, karena tidak menjalankan kontrol sebagaimana diamanatkan PP dan Permendagri,” tegasnya.
Dalam Permendagri 77/2020 ditegaskan bahwa setiap kegiatan tahun jamak wajib memiliki Perda khusus, disetujui bersama kepala daerah dan DPRD, serta pembayarannya hanya dapat dilakukan berdasarkan dokumen resmi seperti DPA, SPD, dan SPM. Namun, mekanisme tersebut diduga dilanggar secara terang-terangan dalam proyek Tapteng.
Iskandar mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara untuk mengusut seluruh kontrak proyek multiyears di Tapteng pada periode 2020-2022 yang tidak memiliki dasar hukum sah.
“Kejati Sumut kini memiliki momen krusial untuk membuktikan bahwa penegakan hukum berbasis audit bukan sekadar penindakan individu, tapi juga pemulihan sistemik keuangan negara,” ujarnya.
Menelusuri pejabat penandatangan dokumen anggaran yang cacat hukum.
Menerapkan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jika ditemukan indikasi aliran dana yang memperkaya pihak tertentu. Menetapkan besaran kerugian negara dan menyusun rencana penyelamatan aset.
Mempublikasikan hasil penyidikan agar publik mengetahui sejauh mana uang rakyat diselamatkan.
“Keadilan bukan sekadar hukuman, tapi transparansi dan pemulihan. Publik berhak tahu siapa yang bertanggung jawab atas setiap rupiah uang rakyat yang hilang,” tegas Iskandar.
Menurutnya, transparansi dalam penyidikan dan pemulihan aset justru akan memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi hukum.
“Keadilan tidak lahir dari vonis, tapi dari keberanian membuka seluruh fakta,” tambahnya.
Menutup pernyataannya, Iskandar menyebut kasus di Tapteng sebagai cermin nasional tentang bagaimana pelanggaran keuangan daerah bukan disebabkan ketidaktahuan, melainkan keberanian menabrak aturan.
“PP 12/2019 dan Permendagri 77/2020 sudah menjadi pagar hukum yang kokoh. Yang hilang hanyalah kemauan politik dan integritas hukum untuk menegakkannya,” pungkasnya.




