REDAKSI8.COM, BANJARBARU – Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Banjarbaru, Emi Lasari menyoroti distribusi Liquid Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram subsidi Pemerintah yang dinilai masih belum sepenuhnya tepat sasaran.

Lemahnya kontrol distribusi akibat sistem yang baru menjadi salah satu penyebab penyaluran subsidi tidak tepat sasaran dan kelangkaan di tingkat konsumen.

Hal itu Emi sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) bersama Komisi II DPRD Kota Banjarbaru dengan agenda tindak lanjut Surat Edaran (SE) Wali Kota Banjarbaru terkait penyaluran gas LPG 3 kilogram bersubsidi agar tepat sasaran.

Dalam SE tersebut, Wali Kota Banjarbaru Erna Lisa Halaby menegaskan, LPG 3 kilogram bersubsidi hanya diperuntukkan untuk dua kategori yakni kepala keluarga miskin, dan pelaku usaha mikro yang telah terdaftar.
“SE itu merupakan hasil rapat terakhir kita di bulan Februari yang sudah di tindaklanjuti Pemerintah Kota. Tinggal meningkatkan intensitas pengawasan di lapangan terkait potensi permainan dari agen, pangkalan dan pengecer,” ujarnya, Senin (7/7/25).
Emi menjelaskan, sejak penggunaan aplikasi MyPertamina untuk pendataan pembeli LPG subsidi, semua rumah tangga bisa mendaftar, tanpa pembeda antara mampu dan tidak mampu.
“Dulu kita masih bisa kontrol pakai kartu kendali, sekarang semua orang bisa daftar asal punya KTP dan NIK. Ini membuka peluang orang yang tidak berhak ikut menikmati subsidi,” jelasnya.
Sistem aplikasi saat ini yang mengacu pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), semestinya menjadi acuan penerima manfaat subsidi.
Akibatnya, gas LPG 3 kilogram subsidi jadi rebutan antara masyarakat mampu dan tidak mampu.
“Kalau orang mampu saja bisa beli, lalu yang benar-benar butuh bagaimana? Itu sebabnya kami minta Dinas Perdagangan bersurat ke Pertamina agar menggunakan data DTKS milik pemkot sebagai dasar,” tegasnya.
Emi menyebutkan, saat ini terdapat lebih dari 12 ribu rumah tangga tidak mampu yang tercatat dalam database DTKS Kota Banjarbaru.
Jumlah itu semestinya jadi patokan Pertamina dalam menetapkan kuota subsidi di daerah.
“Kalau data kita dijadikan acuan, baru adil, kalau tidak, sekuat apapun kita tambah kuota, pasti tetap kurang karena digunakan oleh orang yang sebenarnya mampu,” ucapnya.
Selain itu, menurutnya ada mekanisme tambahan bagi masyarakat tidak mampu yang belum masuk dalam DTKS agar tetap bisa mendapatkan subsidi.
“Bisa lewat RT, diteruskan ke Kelurahan, dan masuk melalui SKPD. Jadi tidak semua orang asal daftar di aplikasi langsung dapat hak subsidi,” tuturnya.
Demikian, Emi menekankan, penggunaan data yang tidak terverifikasi akan membuka celah penyalahgunaan, sehingga penerima subsidi malah tidak tepat sasaran.
Kemudian, kurangnya komunikasi antara Pemerintah Daerah dan Pertamina, khususnya dalam hal pembaruan data penerima LPG subsidi juga menjadi perhatiannya.
“Saya minta Dinas segera berkomunikasi aktif dengan Pertamina. Jangan tunggu overload, data kita harus masuk sistem mereka,” tekannya.
Lebih lanjut, Emi menjelaskan, terkait permasalahan tidak hanya di agen atau pangkalan saja, tapi juga pada perilaku konsumen yang lebih memilih gas subsidi.
Sehingga, dengan adanya sinkronisasi data, maka Pemerintah Pusat dan daerah bisa sama-sama memiliki basis data yang akurat dalam menentukan siapa saja yang berhak menerima subsidi.
“Kalau datanya sudah akurat dan diperbarui berkala, kita bisa pastikan subsidi itu jatuh ke tangan yang tepat,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Ia menyarankan agar updating data dilakukan secara berkala oleh dinas terkait, sehingga data tidak usang dan tetap relevan dengan kondisi di lapangan.
“Subsidi itu hak rakyat kecil, jangan sampai sistem digital justru jadi celah bagi orang mampu untuk ikut menikmati,” pungkasnya.